Diambil
dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang
disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah
ke aksara Latin oleh :
RADEN
TANAYA
Diterjemahkan
dan diulas oleh :
DAMAR
SHASHANGKA
48. Para santri tutup grana,
wontên ingkang ngalih denira linggih, Kasan Bêsari amuwus, Sira jênêngmu sapa,
wangsulane Gatholoco araningsun, Kasan Bêsari têtanya, Apa kang sira-sangkêlit.
Seluruh santri menutup
hidung, bahkan ada yang pindah tempat duduk (menjauh), (Kyai) Kasan Bêsari
(Hassan Bashori) bertanya, Siapa namamu? Menjawab yang ditanya Gatholoco
namaku, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) kembali bertanya, Apa yang kamu
selipkan dipinggang (itu)?
49. Sumaur iki watangan,
watangane cipta pikir kang êning, ana dene pêntholipun, iki arane cupak, prêlu
kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron awar-awar
kinardi.
Menjawab (Gatholoco) Ini
lambang dari batang, batang kesadaran yang jernih, sedangkan bulatannya,
namanya CUPAK, lambang dari pucuk kesadaran yang berguna untuk MAPAK (MEMOTONG)
kesadaran yang salah (rendah), ramuan yang terdiri dari candu dan, calon daun
awar-awar (daun awar-awar sangat gatal).
50. Dadi arang ingkang
tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kêna bêndu, mimis glintiran
madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat, sênthile napas
kang lungid.
Jarang manusia yang tawar,
menikmati candu yang sudah dibuat bagai mimis (mimis adalah peluru kuno, berwujud
bulatan. Candu yang sudah dibuat bagai mimis maksudnya dibentuk bulatan siap
untuk dinikmat), jika tidak kuat hidup bagai terkena kutuk (disudutkan dan
dihakimi oleh manusia-manusia yang rendah kesadarannya), jika sudah dinikmati
akan awas kesadaran ini kepada Damar Murub (Pelita Yang Menyala, maksudnya
Cahaya Kebenaran Sejati), lesannya puncak lidah (ini bahasa simbolik, maksudnya
suara yang sejati untuk mencari Tuhan adalah puncak Rasa. Lidah symbol Rasa.
Puncak Lidah berarti Puncak Rasa. Suara sejati dari puncak rasa untuk mencari
Tuhan berarti suara yang tak terbahasakan, melampaui segala suara, melampaui
segala bahasa. Itulah suara Ruh), yang menggetarkan (suara tersebut) adalah
Nafas Yang Misterius (Maksudnya Dia Yang Hidup Tanpa Nafas, Brahman, Sumber
Semesta).
51. Cêthute aran Dzatullah,
rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cêthutipun, rumasuk jroning
badan, sumarambah kulit daging balung sungsum, tyasingsun padhang nêrawang, ora
kewran kabeh pikir.
Tempat hisapnya lambang
Dzatullah (Dzat Allah, Inti Allah), (Puncak) Rasa bercampur dan menyatu menjadi
satu, manunggal kedalam Tempat hisap (Dzatullah), menjadi satu kesatuan dalam
satu badan, menyatu pada kulit daging tulang dan sumsum, Kesadaran-pun terang
benerang, tak ada lagi illusi.
Pada (Syair) 49-51,
maksudnya adalah sebagai berikut : Pipa hisap yang dibawa Gatholoco adalah
lambang Kesadaran (Buddhi), hiasan bulatan pada batang pipa adalah lambng
Awasnya Kesadaran untuk memilah mana yang patut dipakai demi peningkatan
Kesadaran itu sendiri atau tidak (Wiweka), Candu yang dicampur bakal daun
Awar-Awar, lambang begitu memabukkannya spiritualitas itu bila seorang manusia
telah menyelaminya. Tapi jarang yang sanggup bertahan, karena spiritualitas
menuntut keteguhan dan kekuatan yang luar biasa. Godaan dari dalam diri maupun
penghakiman dari manusia lain, sangat sukar untuk dilampaui. Namun jika telah
merasakan mabuk spiritual, maka kecenderungan Kesadaran akan terus lekat pada
Damar Murub atau Cahaya Kebenaran Sejati.
Kompas spiritualitas, bukan
teks-teks kitab suci, tapi LESANE PUCUKING ILAT. LESAN berguna untuk
mengeluarkan suara, PUCUKING ILAT (PUNCAK LIDAH) adalah symbol Puncak Rasa.
Puncak Rasa adalah ATMA/RUH.
SUARA DARI PUNCAK RASA
berarti SUARA RUH. Inilah Radar sejati penuntun kita dijalan spiritualitas.
Karena SENTHILE NAPAS KANG LUNGID (Yang menggetarkan suara itu adalah NAPAS
YANG MAHA GAIB). Jelas sudah, yang membuat SUARA RUH itu tak lain adalah DIA
YANG HIDUP TANPA NAFAS atau BRAHMAN itu sendiri.
Pangkal pipa ditempat penghisapan
adalah lambing Dzatullah (Dzat Allah, Inti Brahman), Puncak Rasa (Ruh/Atma)
apabila telah menyatu dengan Pangkal pipa (Brahman), maka menyatulah dalam satu
kesatuan Wujud.
Disaat itulah semua illusi
akan lenyap dan KESADARAN TOTAL PARIPURNA telah kita capai lagi.
52. Kasan Bêsari ngandika,
Sira wani mapaki kawruh mami, nganggo sira wani nglêbur, mring sarak
Rasulullah, apa sira nampik urip dhêmên lampus, ora wêdi manjing nraka, ora
melik munggah swargi.
(Kyai) Kasan Besari (Hassan
Bashori) berkata, Kamu bernai menantang ilmuku, dengan mencoba melebur, segala
syari’at Rasulullah, apa kamu menolak hidup dan pilih mati? Tidak takutkah kamu
masuk neraka? Tidak inginkah kamu naik surga?
53. Gatholoco alon ngucap,
Kaya apa bisane nampik milih, wus pinêsthi mring Hyang Agung, sakehing
kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing kamulyan, dadi
duweke wong urip.
Gatholoco pelan menjawab,
Bagaimana bisa aku mau menolak (kehidupan)? Sudah menjadi kehendak Hyang Agung,
(ketahuilah sesungguhnya apa yang dimaksud hidup dan mati itu), segala
‘kesedihan dan kesusahan’ (lahir berulang-ulang didunia) itulah yang disebut
‘kematian’, sedangkan segala ‘kemuliaan’ (lepas dari rantai kelahiran dan
kematian), itulah yang disebut ‘kehidupan’.
54. Yen wong urip iku susah,
mêtu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku, dene Kang Maha Mulya,
sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar, ora keno tinon
lair.
Pun sesungguhnya jika
manusia yang hidup didunia ini terus dilanda kesusahan, sesungguhnya itu juga
karena hasil perbuatan pribadinya sendiri (karmaphala), itulah yang membuat
kesedihan, sedangkan Yang Maha Mulia, sifat KASIH itulah sifat-Nya, akan tetapi
semua tersamarkan, tak bisa dilihat oleh mata lahir. (Maksudnya ‘mata lahir’ adalah
tak bisa disadari oleh mereka yang ‘mata’ kesadarannya belum melek, belum
terbuka!)
55. Sira ingkang tanpa
nalar, endah-endah ingkang sira rasani, suwarga naraka iku, mangka katon wus
cêtha, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing swarga, sapa
mlarat manjing gêni.
Dirimu yang tak punya nalar,
muluk-muluk yang kamu bicarakan, Surga dan Neraka itu, sesungguhnya telah
terlihat nyata, siapa saja yang mulia hidupnya didunia ini, dialah yang masuk
Surga, siapa yang melarat dialah yang masuk api.
56. Ya iku manjing naraka,
Kyai Kasan Bêsari amangsuli, Suwarga naraka iku, besuk aneng akerat, Gatholoco
sumaur sarwi gumuyu, Lamun besuk ora nana, anane namung saiki.
Yaitu masuk (api) Neraka,
Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Surga dan Neraka itu, (adanya)
tergelar besok diakherat! Gatholoco menjawab sembari tertawa, Kelak tidak ada,
yang ada sekarang ini!
57. Kyai Guru saurira, Nyata
nakal rêmbuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan sarak Rasulullah, pancen
wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gêsang akarya sêpining masjid.
Kyai Guru (Hassan Bashori)
berkata, Benar-benar kurang ajar ucapan manusia ini, menghujat Hyang Agung, dan
syari’at Rasulullah, wajib dibunuh agar mampus, jika masih awet hidup, akan
membuat semua masjid sepi.
58. Gatholoco alon ngucap,
Ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak dhuwung, saiki ingsun pêjah,
Kyai Kasan Bêsari asru sumaur, Iku lagi tatanira, wong mati cangkême criwis.
Gatholoco pelan menjawab,
Tidak perlu repot membunuhku, dengan senjata tombak atau keris, saat inipun aku
sudah mati, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) keras membentak, Dasar tak tahu
diri, mati kok mulutnya ceriwis!
59. Awake wutuh lir rêca,
Gatholoco alon dennya nauri, Yen patine kewan iku, nganti gograge badan, mati
aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya awak-mami.
Dan badanmu masih tegak
bagai arca, Gatholoco pelan menjawab, Hewan disebut mati, jika tubuhnya hancur
lebur, tumbuhan disebut mati jika sudah kering, jika setan mati hilang tak
diketahui jejaknya, tapi kematian manusia sesungguhnya.
60. Ora mujud ora ilang,
mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku nêpsuku, mulane kabeh salah,
ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya tundhaning
lair.
Tidak bisa dilihat secara
fisik juga tidak hilang (wujud) manusianya, ketahuilah sesungguhnya aku ini
sudah mati, yang mati nafsuku, makanya aku mampu melihat kesalahan kalian, yang
hidup adalah Budi (Buddhi:Kesadaran) dan menyisakan pikiran dan nalar yang
jujur, terpisahnya Raga dan Nyawa, (itu bukan kematian) itu hanya proses menuju
kelahiran kembali.
61. Iku ingkang aran Sadat,
pisahira Kawula lawan Gusti, lunga pisah têgêsipun, dadi Roh Rasulullah, yen
wis pisah Ragane lan Suksma iku, Rasa Pangrasa lan Cahya, panggonane ana
ngêndi.
Itulah yang disebut Sahadat
(Kesaksian) yang sesungguhnya (Dalam kondisi seperti ini, dimana kita telah
mampu terpisah dari Badan Fana dan murni menjadi Badan Sejati, disaat seperti
inilah kita akan mengetahui apa itu makna Sahadat yang Sejati), pisahnya Kawula
(Hamba : Badan Maya/Fana yang berasal dari alam) dengan Gusti (Tuhan: Badan
Sejati/Brahman yang berwujud Atma yang selama ini terjebak Maya), murni menjadi
Roh Rasulullah (Roh Utusan Allah/Atma yang suci kembali), manakala telah
berpisah Raga/Badan Fisik dan Suksma/Badan Halus, Rasa berikut Perasaan
(maksudnya juga Suksma/Badan Halus) dan Cahaya (maksudnya Atma atau Badan
Sejati), lantas kemanakah perginya semua itu?
62. Kyai Guru saurira, Bênêr
ingsun luluh awor lan siti, Rasa lan Pangrasa iku, kalawan Cahya Gêsang, pan
kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga, Sang Ijrail ingkang
ngirid.
Kyai Guru (Hassan Bashori),
Yang benar aku (Badan Fana) hancur menjadi tanah, sedangkan Rasa berikut
Perasaan (Badan Halus) beserta Cahaya Hidup (Badan Sejati), dibawa oleh (Hyang)
Suksma (Tuhan), semua naik ke Surga, Sang (Malaikat) Ijrail yang mengiringi.
63. Lamun Suksmane wong
Islam, kang nêtêpi salat limang prakawis, sarta akeh pujinipun, rina wêngi tan
owah, anêtêpi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen katrima ing
Hyang Widdhi.
Jika Badan Halus orang
Islam, yang menjalani shalat lima waktu, serta banyak beribadah, siang malam
tiada goyah, memenuhi zakat shalat dan puasa, zakat fitrah menjelang hari raya,
jika diterima oleh Hyang Widdhi.
64. Kaunggahaken suwarga,
krana manut parentahe Jêng Nabi, kabeh oleh-olehingsun, kang wus kasêbut sarak,
yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dhawuhe Jêng Rasulullah,
pinanjingakên yumani.
Akan naik ke Surga, karena
menuruti perintah (Kang)jêng Nabi, yaitu semua yang aku jalani ini yang disebut
syari’at, tapi Badan Halus manusia kafir yang tidak menuruti, perintah
(Kang)jêng Rasulullah, dimasukkan tempat siksaan (Neraka).
65. Awit mukir mring
Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatholoco asru muwus, dene
Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan
pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.
Sebab telah melawan Panutan,
manusia kafir itu menjadi musuh (Hyang) Widdhi, Gatholoco keras berkata, Sangat
konyol jika Yang Maha Kuasa, memusuhi manusia kafir, kamu nyata tidak
mempercayai, kepada Kekuasaan (Kasih) Hyang Widdhi.
66. Maido kuwasaning Hyang,
dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika, sapa kang gawe kopar, lawan
maneh ingkang karya uripipun, akarya bêja cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.
Kamulah sesungguhnya yang
menghujat Hyang (Widdhi)! Membagi-bagi manusia menjadi umat Nabi (dan yang
bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang membuat? Lantas pula
siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan kemuliaan dan celaka, tiada lain
juga Hyang Maha Suci.
67. Upama Allah duweya,
satru kapir murtad marang Hyang Widdhi, bêcik sadurunge wujud, tinitah aneng
dunya, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mêngkono Allahira, iku ora duwe
budi.
Jikalau Allah mempunyai,
musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepada Hyang Widdhi, sebaiknya Dia
tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang kafir) hidup didunia, sehingga
Hyang Agung (tidak repot-repot) mempunyai musuh (yang membuat Dia marah-marah),
jikalau memang demikian Allah-mu, tidak mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!
68. Dhêmên karya kasusahan,
adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku, mêpêki ing aguna, anuruti
sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang agami.
Hanya membuat pekerjaan tak
berguna, mengadu orang Islam dengan orang kafir, berbeda dengan Allah-ku, penuh
kebijaksanaan, memberikan kebebasan bagi manusia, tiada yang disebut kafir dan
Islam, manusia diberi kebebasan memeluk agama!
69. Têgêse aran agama,
panggonane ngabêkti mring Hyang Widdhi, ing sasêbut-sêbutipun, waton têrus
kewala, tanpa salin agamane langgêng têrus, sapa kang salin agama, anampik
agama lami.
Yang dinamakan agama itu,
sekedar wadah yang mengatur tata cara untuk menyembah Hyang Widdhi, apapun
sebutan (nama agama maupun menyebut Tuhan)-nya, asal terus memantapkan diri
dalam satu jalan, tiada bersalin agama dan terus mantap (pasti akan diterima),
(ketahuilah) sesungguhnya siapa yang berpindah agama, menolak agama lama (yang
sudah ditetapkan Hyang Widdhi bagi dia).
70. Iku kapir aranira, krana
nampik papêsthene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur, nampik leluhurira, sasat
nampik papêsthenira Hyang Agung, panyêbutmu siya-siya, anêbut namaning Widdhi.
Itulah manusia kafir, karena
menolak kepastian Hyang Widdhi, dirimu itu kufur, menolak (agama) leluhur,
jelas menolak kepastian Hyang Agung (yang telah menetapkan bahwa agama leluhur
Jawa adalah agama yang pas bagi orang Jawa), doamu seolah sia-sia, saat kamu
menyebut nama (Hyang) Widdhi (dengan bahasa asing)
71. Sira iku bisa kandha,
lamun kapir Suksmane manjing gêni, Suksmane wong Islam iku, kabeh manjing
suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, wêruh suwarga naraka, panggonane
aneng ngêndi.
Dan lagi kamu bisa
mengatakan, apabila manusia kafir Badan Halusnya masuk kedalam api (Neraka),
(sedangkan) Badan Halus manusia Islam, semua naik Surga, apakah kamu sudah
pernah mati, sehingga tahu Surga dan Neraka? Dimanakah tempatnya?
72. Kasan Bêsari angucap,
kang kasêbut sajroning kitab mami, Gatholoco sru gumuyu, sira santri kêparat,
ngandêl marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu
tinggalan naluri.
(Kyai) Kasan Bêsari (Hassan
Bashori) menjawab, Itulah yang disebutkan dalam kitab! Gatholoco tertawa keras.
Kamu santri bodoh, mempercayai begitu saja kepada kertas dan tulisan yang kamu
sebut kitab, kitab yang kamu sadur begitu saja dari kitab milik orang seberang,
bukan (kitab suci) yang sudah melekat semenjak dulu (dalam dirimu).
73. Buku têmbung cara Arab,
tan ngopeni buku saking naluri, sayêktine kabisanmu, mung kitab sembarangan,
sira gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah, bali ingkang duwe
maning.
Kitab yang berbahasa Arab
(saja yang kamu agungkan), tidak mempelajari kitab (suci) yang sesungguhnya
(yaitu Suara Ruh/Nurani), sesungguhnya wawasanmu, kamu peroleh dari kitab
sembarangan, (segala kesadaran dangkalmu hasil mempelajari kitab Arab) kamu
bawa sebagai oleh-oleh saat kamu mati kelak, kamu haturkan (kesadaran semacam
itu) kepada Gisti Allah, kepada yang mempunyai.
74. Bakale apa katrima,
krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh pangucapira, iku uga
kagunganira Hyang Agung, mangka sira aturêna, bali marang kang ndarbeni.
(Kesadaran) semacam itu mana
mungkin diterima? Karena semua ini adalah milik-Nya, seluruh puji dan
dzikir-mu, seluruh ucapanmu, itu semua milik Hyang Agung, tapi kamu malah
bermaksud mengembalikan, kepada yang mempunyai (maksudnya pemahaman merasa
terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan Sumber Semesta dan merasa bahwa manusia
ini eksis sendiri, bukan wujud Tuhan, adalah pemahaman konyol menurut
Gatholoco. Manusia itu nisbi, manusia itu tidak ada, semua ini adalah wujud
Tuhan. Lantas jika ada yang meyakini, tubuh fisik ini milik kita yang
dipinjamkan oleh Tuhan, dan nanti akan kita kembalikan kepada-Nya, pemahaman
semacam itu masih kurang tepat menurut Gatholoco. Tidak ada pihak yang
meminjamkan atau yang dipinjami. Yang ada hanyalah TUHAN. Yang meminjamkan dan
yang dipinjami, hanyalah illusi. Illusi dari hasil mempelajari kitab-kitab
seberang tersebut)
75. Apa ora nêmu dosa, iku
kabeh kagungane Hyang Widdhi, kêpriye olehmu matur, Kyai Guru saurnya, Sira iku
maido kitabing Rasul, Gatholoco alon ngucap, Tan pisan maido mami.
Sangat berdosa dirimu,
karena ini semua adalah wujud Hyang Widdhi, bagaimana kamu hendak menghaturkan
(kembali), Kyai Guru menjawab, Kamu menghina kitab Rasul, Gatholoco pelan
menjawab, Bukan sekali ini aku menghina.
76. Sawuse sira tumingal,
mring unine buku daluwang mangsi, landhatên kanyatahanmu, rasane saking sastra,
sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pêjah, anggawa sanguning
brangti.
(Dengarkan) setelah dirimu
membaca, segala yang tercantum dalam kertas bertuliskan tinta yang kamu sebut
kitab suci itu, nyatakan dalam dirimu sendiri (jangan hanya meyakini secara
buta), intisari dari sastra (ayat) yang sudah kamu pelajari. Dan lagi kamu tadi
mengaku, kelak jika kamu meninggal, kamu membawa oleh-oleh yang sangat kamu
cintai. (cinta dalam bahasa Jawa adalah BRANGTA/BRANGTI atau ASMARADANA.
Menyiratkan pupuh selanjutnya adalah pupuh ASMARADANA)
Posting Komentar