Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
1. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 7-13
Yen mungguh pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi,
sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih
pêtêng nggenipun, sayêkti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake
sawiji-wijining Wayang.
Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Kêlir
(Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh
gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap
tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan
cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.
Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit,
margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali, yen Balencong wus urip,
kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil,
kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.
Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud
setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata,
manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Kêlir
(Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana
kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.
Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih,
nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês
pangucap-ipun, awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong
kang luwih tuwa.
Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan
memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap
Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang
kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya
Balencong yang lebih tua.
Dene unining gamêlan, Wayange kang den gamêli,
Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gêdhe cilik,
manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging
darma ngucap molahake Wayang.
Sedangkan bunyi gamêlan, mengiringi gerakan Wayang,
Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi
atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya gamêlan, Ki Dalang yang
berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan
menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.
Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi,
basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti, langgêng tan owah gingsir, tanpa
kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe
Wayang ucape Ki Dhalang.
Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang,
yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak Ada, akan tetapi
Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang
dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih
berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.
Ingkang mêsthi nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik,
kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati,
kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp
suwung ora ana siji apa.
Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan
perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu
Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak
ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak
ada apapun juga.
Basa Kêlir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange
Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku,
nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang
Murba.
Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang
sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong
adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut,
merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain
adalah Wujud Allah Yang Kuasa.
Gatholoco melontarkan teka-teki kepada ketiga orang
Kyai Guru. Diantara empat hal ini, manakah yang lebih tua? WAYANG, DALANG,
KÊLIR (Layar)atau BALENCONG? (Pelita yang dinyalakan sepanjang malam hingga
pagi, khusus untuk mengiringi sebuah pertunjukan Wayang Kulit ). (Pupuh III,
Sinom, Pada (Syair) : 1)
Ahmad Ngarip
(‘Arif) menjawab, bahwa KÊLIR (Layar) jelas paling tua sendiri. Karena sebelum
sebuah pertunjukan Wayang kulit dimulai, KÊLIR (Layar) harus terpasang lebih
dahulu. KÊLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum semuanya siap sedia.
KÊLIR (Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum seluruh WAYANG ditata
berjajar bahkan sebelum satu persatu karakter WAYANG dimainkan. Harus ada
sebelum gamêlan dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG duduk menuturkan kisah
yang hendak dibawakan. Bahkan KÊLIR (Layar) juga ada lebih dahulu sebelum
BALENCONG dinyalakan. Oleh karenanya, KÊLIR (Layar) pantas dinyatakan sebagai
yang paling tua. Begitu pendapat Ahmad Ngarip (‘Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 1-2)
Lain lagi pendapat dari Abdul Jabar. Menurut dia,
DALANG-lah yang pantas dianggap sebagai yang paling tua. Karena, baik KÊLIR
(Layar), BALENCONG berikut pula seluruh piranti perlengkapan untuk sebuah
pertunjukkan Wayang Kulit, bahkan WAYANG-nya itu sendiri-pun, yang berkuasa
menata, mengatur juga menjalankan, adalah SANG DALANG. Oleh karenanya, DALANG
patut dianggap lebih tua dari yang lain! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)
Abdul Manap (Manaf) memiliki jawaban sendiri. Dia
menganggap WAYANG-lah yang pantas dianggap tua. Karena bagaimanapun juga, dalam
sebuah pagelaran Wayang Kulit, dimanapun tempatnya dan kapan saja waktu
pertunjukkan tersebut digelar, yang disebut-sebut orang banyak pastilah
Pagelaran WAYANG. Bukan Pagelaran DALANG, atau Pagelaran KÊLIR (Layar) apalagi
Pagelaran BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 4-6)
Gatholoco menyalahkan semua jawaban dari ketiga Kyai
Guru. Dia menyatakan BALENCONG-lah yang paling tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak
akan dapat terlihat seluruh piranti pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa
adanya BALENCONG, keberadaan KÊLIR (Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri,
tidak akan dapat diketahui karena semua dalam kondisi gelap gulita.
Gatholoco menyatakan lagi, bahwasanya yang
dimaksudkannya dengan KÊLIR (LAYAR) tak lain adalah RAGA atau STHULA SARIIRA
atau JASAD MANUSIA Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA SEJATI atau SUKSMA
SARIIRA atau NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan dari ATMA SARIIRA
atau RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH disebut RASUL MUHAMMAD (
UTUSAN YANG TERPUJI).
BALENCONG tak lain adalah simbol PURUSHA. Simbol dari
MANIFESTASI ILLAHI PERTAMA yang berkehendak meng-ada-kan seluruh ciptaan ini.
Dari PURUSHA-lah KEHENDAK PENCIPTAAN MULA PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah
seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA atau RUH terpancarkan kedalam
BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari KEHENDAK PURUSHA-lah PRAKRTI terus
mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru
BALENCONG-lah yang memberikan TERANG kepada DALANG.
Dan DALANG memberikan KESADARAN kepada WAYANG. Sedangkan KÊLIR (LAYAR) hanya
sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita yang dikisahkan.
PURUSHA-lah yang memberikan KESADARAN kepada ATMA
SARIIRA atau RUH. ATMA SARIIRA atau RUH yang memberikan KESADARAN kepada SUKSMA
SARIIRA atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA atau JASAD, hanya sekedar menjadi
‘tempat’ ter-realisasi-nya seluruh aktifitas tersebut.
BALENCONG (PURUSHA) adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP
atau BRAHMAN. BALENCONG (PURUSHA) adalah juga DUPLICATE dari SANG HYANG WIDDHI
atau BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi : Balencong adalah
Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!
Sedangkan GAMÊLAN dan PARA NIYAGA (PENABUH GAMÊLAN)
berikut PARA PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu
terus menghanyutkan tingkah polah WAYANG (SUKSMA SARIIRA). Tergantung KESADARAN
SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk memutuskan, apakah WAYANG (SUKSMA SARIIRA)
yang ada dalam genggaman tangannya akan terus terpengaruh dan terlarut oleh
BUNYI GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON
sehingga lupa memfokuskan diri kearah USAINYA PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah
KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) akan mengolah pertunjukan secara apik dan
tepat waktu sehingga segera USAI PULA SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah
dikisahkannya.
Jika ATMA SARIIRA TELAH BANGKIT KESADARANNYA, segera
Dia akan berusaha merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA SECARA APIK. Jika ATMA
SARIIRA TIADA KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH KEHIDUPANNYA AKAN
MENJADI PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI! ATMA SARIIRA YANG TIDAK SADAR-SADAR, akan
terus asyik memainkan SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam GELIMANG
OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam ini akan terus
TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG BERULANG-ULANG TANPA
BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)
ATMA SARIIRA
sendiri terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah HUKUM SEMESTA yang
absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang mengatur seluruh jalannya cerita
kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBAT-AKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama
ATMA SARIIRA masih terjerat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS
DUNIAWI, selama itu pula ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!
Gatholo
mengumpamakan, bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG YANG MENGUNDANG.
YAITU ORANG YANG PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS
DIMAINKAN. Dalam bahasa Gatholoco, ORANG YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SÊPI.
KYAI SÊPI tak
lain adalah ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI, BAYANGAN BRAHMAN! ALAM
SEMESTA -lah yang mengarahkan jalannya cerita nasib manusia. ALAM SEMESTA -lah
yang menumbuhkan BUAH KARMA. WALAUPUN SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU
YANG MERANGKAI DAN MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU SENDIRI. ALAM
SEMESTA HANYA SEKEDAR MEREKAM DAN MENUMBUHKANNYA SEMATA!
ALAM SEMESTA sesungguhnya TANPA KESADARAN. ALAM
SEMSETA ibarat sebuah MESIN SUPER CANGGIH yang terus bekerja merekam seluruh
aktifitas manusia. Aktifitas yang BAIK maupun yang BURUK. Dan pada ujungnya,
menumbuhkan buah aktifitas tersebut dalam bentuk rangkaian TAKDIR bagi manusia
itu sendiri! Oleh karenanya Gatholoco menggambarkan bahwasanya KYAI SÊPI itu
seolah TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM DAN
MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI KEBERADAANYA TERGELAR NYATA (Maksudnya
ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA)!
SESUNGGUHNYA DIA-PUN LANGGENG JUGA, DIA TAK BERUBAH, TAK BISA DITAMBAH DAN TAK
BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI DAN TAK MEMILIKI KESADARAN SENDIRI.
ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN BRAHMAN!
Diatas itu semua, ada yang lebih berkuasa. Gatholoco
menyebutnya KYAI URIP atau HIDUP! KYAI URIP tak lain adalah BRAHMAN YANG
MUTLAK! SUMBER ABADI KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL
DAN TUJUAN SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI YANG TANPA PRIBADI! YANG
MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANA-MANA! YANG ADALAH SEGALANYA!
KEBERADAAN, KESADARAN, KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN MURNI! YANG ADALAH
KEMUTLAKAN ABSOLUT!
DAN SEJATINYA, KÊLIR (STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA
SARIIRA), DALANG (ATMA SARIIRA), YANG MENONTON BERIKUT YANG MENABUH GAMÊLAN
(OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SÊPI (ALAM SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT HUKUM
KARMAPHALA-NYA) DAN BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA ADALAH MANIFESTASI KYAI URIP
(BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 5-6)
Gatholoco sesungguhnya hendak mengajarkan RAHASIA ILMU
SEJATI kepada mereka-mereka yang masih juga terjerat konsep keber-agama-an
kulit! Mereka-mereka yang terbiasa membedakan mana SAKRAL dan mana PROFAN
berlebihan! Mereka-mereka yang berputar-putar pada keyakinan bahwa TUHAN
tercerabut dari MANUSIA. Keyakinan bahwa TUHAN dan MANUSIA adalah dua sosok
pribadi berbeda. Yang satu dilangit nan jauh disana, yang satu berdiam dibumi
dengan kenelangsaan sebagai budak yang siap dimainkan dan diatur-atur
sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu! Budak yang setiap saat
bisa diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan yang jelas!
Budak yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan diiming-imingi
Surga jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika tidak patuh!
Konsep ke-Tuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau diklaim
paling modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf
Eksistensialisme, Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK
TUHAN YANG SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN UEBERMENCH atau
Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche SUDAH MATI ! Lantang
dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !
Nietzsche berteriak beberapa puluh tahun lalu tentang
UEBERMENCH. Gatholoco berteriak empat ratus tahun lalu tentang LANANG SUJATI.
Syeh Siti Jenar berteriak enam ratus tahun lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI,
JATINING PANGERAN MULYA. Sidharta Gautama berteriak dua ribu lima ratus tahun
yang lalu tentang BUDDHA dan Rsi Wyaasa berteriak lima ribu tahun yang lalu
dalam Brahmasutra tentang AHAM BRAHMASMI. Teriakan mereka tiada beda walaupun
masa kehidupan mereka terpaut rentang waktu yang jauh! Tapi mengapa masih juga
tidak ada yang mendengar? Mengapa darah masih saja terus tumpah?
Gatholoco hendak mengajarkan kepada mereka-mereka yang
terus menerus tercekam ketakutaan tak beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN
TUHAN YANG BERNAMA IBLIS. Sehingga sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI
TUHAN, INI DARI IBLIS. INI AJARAN TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN, INI
SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI AGAMA TUHAN,
INI AGAMA IBLIS. (Walau diperhalus dengan ungkapan INI AGAMA LANGIT DAN INI
AGAMA BUMI)!
KETAHUILAH!
TIDAK ADA AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH AJARAN YANG BERASAL DARI EGOISME
DAN KESERAKAHAN MANUSIA! ITULAH AJARAN SESAT DAN MENYESATKAN!
Gatholoco hendak mengajarkan bahwa seluruh semesta ini
BERASAL DARI YANG SATU. BAHKAN BUKAN HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK
MENGAJARKAN PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH SEMESTA INI BERIKUT MAKHLUK YANG
BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN! TAT TWAM ASI
(ENGKAU ADALAH AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!
Hal ini
ditegaskan dalam syair ke-13 diatas.
Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro
ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut,
merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain
adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!
TAK HARUS ADA
SEKUMPULAN SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT DIMUSUHI! TUHAN TAK PERNAH
MENGAJARKAN PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN KEPADA MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA
MENGAJARKAN KASIH! KASIH YANG TANPA PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIH-PILIH
ALIAS PILIH KASIH!
Yang patut diwaspadai adalah SUKSMA SARIIRA ini.
Karena didalam SUKSMA SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA (EMOSI NEGATIF), MANAH
(PIKIRAN LIAR) dan CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) . Namun ada pula yang
dinamakan BUDDHI (KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah KESADARAN ATMA yang tinggal
sedikit karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Perkuat BUDDHI ini,
agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Jadikan BUDDHI sebagai
pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain tersebut!
AHAMKARA, MANAH DAN CITTA, ITULAH SETAN YANG
SESUNGGUHNYA!
Keempat unsur SUKSMA SARIIRA inilah sesungguhnya yang
dimaksud oleh leluhur Jawa jaman Shiwa Buddha dengan istilah SADULUR PAPAT
KALIMA PANCÊR (SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI
ARI-ARI (MANAH), GÊTIH (AHAMKARA) dan PUSÊR (CITTA) . Sedangkan PANCÊR (PUSAT)
tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!
Konsep ini dikembangkan dalam ajaran Islam Kejawen
seiring keruntuhan Majapahit, dengan mengambil kosa kata Arab, untuk
menggantikan kosa kata yang berbau Weda dan berbau Jawa asli, yaitu MUTMAINAH
(untuk menggantikan kosa kata KAKANG KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH (untuk
menggantikan kosa kata ADHI ARI-ARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan kosa
kata GÊTIH/AHAMKARA) dan LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata PUSÊR/CITTA).
Lantas dikenalah istilah NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT MACAM).
Kosa kata Jawa
masih tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis dan tidak lagi
dikenal oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.
Pelampauan AHAMKARA, MANAH dan CITTA , mutlak
diperlukan. Manakala sudah mampu kita lampaui, BUDDHI akan bersinar terang!
Begitu BUDDHI telah termurnikan, maka KESADARAN akan meningkat pesat. Dan dalam
proses lompatan peningkatan KESADARAN ini, BUDDHI itu sendiri, KESADARAN
RELATIF itu sendiri, akan lenyap dalam ATMA SARIIRA . Dan ATMA SARIIRA akan
memperoleh kembali KESADARAN MURNI-NYA !
ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya
sudah bukan lagi bisa disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini,
sesungguhnya tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan
JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang
menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?
Tinggal selangkah lagi. Manakala ATMA SARIIRA sudah
lenyap dalam SAMUDERA ENERGI PURNA , manunggal total dengan BRAHMAN , maka
tiada lagi terbedakan mana ATMA mana BRAHMAN. TUNGGAL ADANYA . Gatholoco
menggambarkan : ………..yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana
apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa. (manakala
pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku)
ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.)
Dan yang ‘ada’
hanyalah ‘YANG ADA’ itu sendiri. Tiada lagi ‘ada’ yang lain!
Damar Shashangka
Posting Komentar