Dalam artikel ini, Tuhan (dengan T besar) merujuk
pada Tuhan monoteisme, manakala tuhan (dengan t kecil) merujuk pada Tuhan/Dewa
semua kepercayaan secara umum.
Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach
adalah salah orang pertama yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku Système de la Nature (1770), ia
melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common Sense (1772) dikutuk oleh
Parlemen Paris, dan salinan-salinannya dibakar di depan umum.
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang
tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap
teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada
keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos),
yang secara peyoratif (unsur bahasa yang bermakna menghina,
merendahkan, dan sebagainya, yang digunakan untuk menyatakan penghinaan atau
ketidaksukaan seorang pembicara. Kadangkala, sebuah kata lahir sebagai sebuah
kata peyoratif, namun lama kelamaan digunakan sebagai kata yang tidak bersifat
peyoratif) digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya
bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan
menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama,
istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak
percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis"
muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, populasi dunia mengaku
sebagai ateis semakin banyak dan tersebar diseluruh dunia (Ateis, nonteis, agnostik)
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan
fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan
argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan
sebagai tak beragama (ireligius). Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah
menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama
Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari
yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi seperti humanisme (istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah - masalah atau isu - isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem - sistem beretika tradisional yang hanya berlaku bagi kelompok - kelompok etnis tertentu), rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi
atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.
Kata Yunani αθεοι (atheoi), seperti yang tampak
pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di papirus abad ke-3. Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal
dari awalan ἀ- + θεός
"tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk
pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan
definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak
tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang
menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak,
terdapat pula ἀθεότης
(atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata
Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos.
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada
"kepercayaan tersendiri", utamanya
merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada perkembangannya definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan
pada semua tuhan/dewa", walaupun secara umum untuk merujuk ateisme
sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)". Akhir-akhir
ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk
mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada
dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini
sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat
terbatas.
Definisi dan pembedaan
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara
definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit
tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti itu
dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit
mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat
menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi
bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan
mengklasifikasi ateisme, yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan
tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan kepercayaan, dan apakah ateisme
memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai
kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas (mempunyai banyak makna) dan kontroversi yang terlibat
dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam
mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep
ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme.
Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis,
orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis.
Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai
ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan
ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan
kepercayaan pada dewa/tuhan.
Bergantung pada apa yang para ateis tolak,
penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa
sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang
ada pada agama Hindu dan Buddha.
Implisit dan eksplisit
Definisi ateisme juga bervariasi sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan
untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas
untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang
luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai
ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa
"Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan
Tuhan." George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang
yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan.
Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual (sebagai
ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut
ateis." Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada
"ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar
dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi
ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak
dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18,
keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas demikian juga keberadaan ateisme
yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal
ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi
bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri. Terdapat pula sebuah
posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada
saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia. Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa
keuntungan beragama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih
baik.
Kuat dan lemah
Beberapa filsuf seperti Antony Flew, Michael
Martin, dan William L. Rowe membedakan antara ateisme kuat (positif)
dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak
ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya.
Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah
ataupun kuat. Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun
istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam
berbagai literatur-literatur filosofi yang menggunakan batasan ateisme ini, dan kebanyakan agnostik
adalah ateis lemah.
Agnostisisme
memiliki bawaan ateisme lemah, kebanyakan agnostik memandang pandangan
mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya
dengan teisme. Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk
membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai
indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis
terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti
seharusnya pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana
ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya, dan bahwa
ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas/kemungkinan keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.
Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga
dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena
alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan
tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak
berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi
kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan
implikasinya yaitu
pengambilan asumsi tanpa secara penuh menerima atau memercayainya.
Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan
pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk
tindakan lainnya; pengesampingan masalah tuhan dan religi (agama secara umum) secara
aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis; pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun
pada permasalahan tuhan dan agama.
Ateisme, agama, dan moralitas
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya
diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak
keberadaan dewa pencipta yang personal. Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran
keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka
ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan Kristen
ateis.
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif
tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di luar ketidakpercayaan pada
dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan
yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis,
mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai
moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai
dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak
berarti.
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang
secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan
dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan, maupun
adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan
dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus
menerus muncul dalam debat politik. Persepsi moral seperti
"membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan
pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa
memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa
moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu
sendiri.
Filsuf Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas
bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta.
Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan
mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk
mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah
"anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya,
sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi
tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.
Sumber : Wikipedia yang diedit oleh Bms_75 dengan bahasa yang lebih sederhana agar mudah dipahami tanpa mengubah pokok bahasan inti.
Semoga wawasan kita lebih luas.
Posting Komentar