.
>>>>> SEMOGA SEMUA MAKHLUK HIDUP BERBAHAGIA <<<<<


SUNDA WIWITAN, KETIKA MEREKA DIPAKSA JADI “BUNGLON”

Ira Indrawardhana (tengah),
salah satu pengahayat Sunda Wiwitan
Dokumen Kompas
BANDUNG, KOMPAS.com — Dari selembar kertas, Ira Indrawardana kebingungan. Bocah berusia 9 tahun itu tak mampu mencerna kalimat pertanyaan yang tertulis di atas kertas tersebut. Pertanyaan itu berisi lima kolom agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Ira diminta oleh gurunya untuk memilih salah satu. Bukannya menjawab, ia malah bingung dan tak mampu mengisi. Karena ia sadar tak ada agamanya tertera di kelima kolom tersebut, ia pun memutuskan untuk meminta bantuan sang ayah.

Keesokan harinya, sang ayah menemui gurunya. Saat itu, ia meminta guru untuk tidak menyuruh anaknya memilih agama lantaran tak akan mengerti dan masih terlalu kecil.

“Bapak saya lalu bertanya, ‘Ini sekolah apa?’. Guru saya menjawab Katolik. Lalu, ayah berkata, ‘Didik saja anak saya dengan Katolik yang benar, tapi jangan suruh anak saya memilih. Kalau mau ke gereja, silakan pergi ke gereja, tetapi jangan dibaptis,'” ucap Ira mengenang masa kecilnya.

Ira terbilang berprestasi di SD Yos Sudarso, Cigugur, Kuningan. Dia memperoleh nilai bagus di mata pelajaran umum maupun agama (Katolik).

“Saya ke gereja. Kalau ada Natal, saya juara lomba puisi. Ada acara Paskah, saya memerankan Yesus yang disalib. Tapi, hati saya berkata, saya bukan Katolik, saya Sunda Wiwitan,” ujarnya kepada Kompas.com di Bandung, Jumat (14/11/2014).

JADI BUNGLON
Ira mengungkapkan, pemerintah saat itu tak memberi kesempatan penghayat seperti dirinya untuk mempelajari keyakinannya di sekolah. Pemerintah lewat kebijakannya secara tidak langsung memaksa penghayat mempelajari lima agama resmi untuk bisa lulus sekolah.

“Kami tak punya pilihan lain. Kalau menolak, nilai agama di rapot kosong. Masa ada nilai yang kosong? Buat kami ini tidak mudah. Untuk memperoleh hak pendidikan, kami dipaksa menjadi ‘bunglon’. Kami bisa menjadi Muslim, Kristen, Katolik, atau agama lainnya yang diakui negara,” ungkapnya.

Meski begitu, keinginan pindah agama tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski dia mempelajari Katolik dan Islam semasa SD-SMA, keimanannya tetap pada Sunda Wiwitan.

Seperti saat dia daftar di jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 1993 silam. Saat itu, dia kembali harus mengisi lima kolom agama yang diakui negara. Hatinya bergejolak ketika akan mengisi.

Pemerintah tidak adil dan semena-mena terhadap penghayat. Padahal, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Indonesia ini didirikan. Namun, pemerintah dengan seenaknya mengatur, mana agama yang diakui atau tidak. Kian keras hatinya berteriak, makin tersadar emosi tak akan menyelesaikan sesuatu.

“Untuk sebuah perjuangan yang lebih besar, perlu sebuah strategi. Akhirnya, dari hasil diskusi dengan orangtua, saya mengisi kolom Katolik di lembar pendaftaran maupun saat membuat KTP,” ujarnya.

Ira memilih Katolik bukan tanpa alasan. Jika saat itu Ira memilih Islam, orang sekitar akan memantau apakah dia shalat atau tidak. Namun, dengan memilih Katolik, orang tidak akan memantau Ira pergi ke gereja ataupun tidak.

BERANI TERUS TERANG
Pada tahun 1998, ia mulai berani mengosongkan agama di KTP-nya. Begitu ia menerima kolom agama kosong di KTP, dengan bangga dia menuliskan “Sunda Wiwitan” sebelum dilaminating.

Keputusannya ini bukan tanpa risiko karena banyak orang melirik sinis padanya. Ira dianggap kafir dan kepercayaan yang dianutnya dinilai aliran sesat.

“Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi, mulai dari sebutan kafir, aliran sesat, dan cibiran lainnya. Sebagai manusia biasa, tentunya saya terkadang down,” ujarnya.

Seperti saat hendak bekerja di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung. Ira nyaris tak memperoleh pekerjaan tersebut. Dia dihambat, bahkan dipermasalahkan untuk menjadi PNS karena dianggap berbeda. Namun, setelah berjuang bertahun-tahun dibantu Guru Besar Antropologi, dia berhasil lolos menjadi PNS, meski masih ada orang yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang.

Jika ingin sederhana, kata Ira, gampang saja. Ia tinggal mengisi kolom agama dan tidak akan mengalami berbagai diskriminasi, termasuk berkali-kali putus dengan pacar.

Sambil tersenyum Ira menceritakan, saat kuliah di Unpad, ia beberapa kali gagal membina hubungan karena agama yang dianutnya. Akhirnya, ia pun menikah dengan sesama penghayat. Sementara itu, kakak maupun adiknya menikah dengan penganut Kristen dan Hindu sehingga keduanya berpindah keyakinan. Keluarga ataupun lingkungan sekitar tak ada yang mencegahnya.

“Orangtua di Sunda Wiwitan tak pernah memaksa anaknya menikah dengan orang seagama. Itulah mengapa di Cigugur sangat plural. Semua agama hidup rukun berdampingan. Bahkan, dalam satu rumah bisa dihuni pemeluk tiga agama, bahkan lebih,” ujarnya.

Kini tantangan berat tengah dihadapi Ira, yakni bagaimana membekali anaknya menjalani kehidupan. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, anak-anaknya harus siap dengan berbagai diskriminasi yang akan menghadang. Karena, mau tak mau harus diakui, hingga kini diskriminasi masih melekat di penghayat Sunda Wiwitan.

Sumber artikel:
Kompas.com Edisi Jumat, 14 November 2014
Penulis : Kontributor Bandung, Reni Susanti
Editor : Farid Assifa
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Editing Website | Bms_75
Copyright © 2014. Bms_75
Template Editing and Published by Bms_75
Proudly powered by Blogger