MAHAPARINIBBANA BUDDHA GOTAMA
Setelah Sri Bhagavā
menyampaikan pesan terakhir-Nya, seluruh hutan sala itu menjadi sunyi
senyap. Sri Bhagavā memasuki jhāna pertama. Dan setelah keluar
dari jhāna tersebut, Ia memasuki jhāna kedua, ketiga, dan keempat.
Lalu keluar dari jhāna keempat, Ia memasuki Tataran Ruang Nirbatas (Pali:
ākāsānañcāyatana; Sanskerta: ākāśa-anantya-āyatana)[1], Tataran Kesadaran
Nirbatas (Pali: viññāṇañcāyatana; Sanskerta: vijñāna-anantya-āyatana)[2],
Tataran Tanpa Ada Apa Pun (Pali: ākiñcaññāyatana; Sankserta: akiñcana-āyatana)[3],
serta Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan
(nevasaññā-n’asaññāyatana)[4]. Dan setelah itu, Ia mencapai dan terserap dalam
Padamnya Pencerapan dan Perasaan (saññāvedayita-nirodha)[5].
Bhikkhu Ānanda, yang
memperhatikan bahwa Sri Bhagavā tidak bernafas, menjadi cemas dan berkata
kepada Bhikkhu Anuruddha: “Sahabat Anuruddha, Sri Bhagavā telah mangkat.”
“Tidak, Sahabat
Ānanda, Sri Bhagavā belum mangkat. Ia hanya memasuki Padamnya Pencerapan
dan Perasaan.”
Lalu, keluar dari
Padamnya Pencerapan dan Perasaan itu, Sri Bhagavā memasuki Tataran Bukan
Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Setelah itu Ia memasuki Tataran Tanpa
Ada Apa Pun, Tataran Kesadaran Nirbatas, dan Tataran Ruang Nirbatas. Lalu
keluar dari Tataran Ruang Nirbatas, Ia memasuki jhāna keempat, jhāna
ketiga, jhāna kedua, dan jhāna pertama.
Kemudian, keluar
dari jhāna pertama, Ia memasuki jhāna kedua, jhāna ketiga,
dan jhāna keempat. Setelah keluar dari jhāna keempat, Sri
Bhagavā mencapai Nibbāna Seutuhnya atau Parinibbāna.
Tepat saat Sri
Bhagavā mencapai Parinibbāna, terjadilah gempa yang dahsyat dan mengerikan,
diiringi guntur yang menyebabkan orang berdiri kudunya dan merinding.
Pada saat itulah,
pada waktu jaga malam yang terakhir, pada hari bulan purnama, bulan Vesākha
543 SEU[6] dan pada usia delapan puluh tahun, Sri Bhagavā mangkat tanpa
meninggalkan sisa apa pun.
PROSESI KREMASI
Demikianlah,
ketika Sri Bhagavā mangkat, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan
kesenangan nafsu dengan mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di
tanah sambil berguling-guling kian ke mari, dan meratap. Tetapi para bhikkhu
yang telah bebas dari hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan pengertian yang
benar, merenung dalam batin: “Segala sesuatu adalah tidak kekal, bersifat
sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak terjadi demikian?”
Kini Bhikkhu
Anuruddha dan Bhikkhu Ānanda selama satu malam suntuk
memperbincangkan Dhamma. Kemudian Bhikkhu Anuruddha berkata
kepada Bhikkhu Ānanda : “Ānanda, sekarang pergilah ke Kusinārā,
umumkanlah kepada suku Malla : “Vasetha, ketahuilah bahwa Sri Bhagavā
telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian.” “Baiklah,
Sahabat.” Lalu Bhikkhu Ānanda dengan seorang kawannya mempersiapkan diri
sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubahnya menuju ke Kusinārā.
Pada saat itu suku Malla dari Kusinārā sedang berkumpul dalam ruang
persidangan untuk merundingkan soal itu juga. Takala Bhikkhu Ānanda
menemui mereka, lalu mengumumkan : “Vasetha, ketahuilah bahwa Sri Bhagavā
telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian.”
Demikianlah, ketika
mereka mendengar kata-kata Bhikkhu Ānanda, suku Malla dengan semua anak, istri,
menantu mereka menjadi sedih, berduka cita dan sangat susah kelihatannya, ada
di antara mereka dengan rambut yang kusut serta mengangkat tangan mereka
menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari dan
meratap
Setelah suku Malla
tiba di tempat dimana Sri Bhagavā mangkat, mereka mengadakan penghormatan
dengan menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta
mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya;
lalu mereka mendirikan kemah-kemah dan kubu-kubu untuk bernaung selama mereka
ada di sana, melakukan upacara penghormatan terhadap jenazah Sri Bhagavā
itu selama tujuh hari.
Pada hari ketujuh,
dengan hikmat dan tertib mereka mengusung jenazah Sri Bhagavā itu ke arah
Utara, ke bagian Utara dari kota, dan sesudah melalui pintu gerbang Utara, lalu
menuju ke pusat kota, dan sesudah melewati pintu gerbang sebelah Timur mereka
menuju ke Makuṭabandhana, sebuah cetiya dari suku Malla, dan di
sanalah jenazah Sri Bhagavā dibaringkan.
Kemudian mereka
membungkus jenazah Sri Bhagavā seluruhnya dengan kain linen baru, lalu
dengan kain wol-katun yang telah disiapkan; dan demikian seterusnya sehingga
lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain wol-katun. Setelah
itu dikerjakan, mereka membaringkan jenazah Sri Bhagavā di dalam sebuah
penampung minyak berwarna keemasan, lalu ditutup dengan penampung keemasan
lainnya. Kemudian mereka mendirikan pancaka yang dibuat dari segala macam
kayu-kayu harum dan di atas pancaka itulah jenazah Sri Bhagavā
ditempatkan.
Waktu kremasi pun
tiba, Bhikkhu Mahā Kassapa dan rombongan lima ratus bhikkhu yang mengiringinya
dari Pāvā tiba di tempat pancaka Sri Bhagavā di Makuṭabandhana, cetiya
dari suku Malla, di Kusinārā. Beliau lalu mengatur jubahnya pada salah satu
bahunya, dan dengan tangan tercakup di muka, beliau memberi hormat kepada Sri
Bhagavā; beliau berjalan mengitari pancaka sebanyak tiga kali, kemudian
menghadap pada jenazah Sri Bhagavā, lalu beliau berlutut menghormat
pada jenazah Sri Bhagavā. Hal yang serupa itu juga dilakukan oleh kelima
ratus bhikkhu itu.
Demikianlah setelah
dilakukan penghormatan oleh Mahā Kassapa beserta kelima ratus bhikkhu itu,
maka di pancaka Sri Bhagavā lalu terlihat api menyala dengan sendirinya
dan membakar seluruhnya.
Demikanlah terjadi ketika
itu jenazah Sri Bhagavā mulai dibakar; yang mula-mula terbakar adalah kulitnya,
jaringan daging, urat-urat dan cairan-cairan semua itu tiada yang nampak, abu
maupun bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Tepat sama
seperti lemak atau minyak saat dibakar tidak meninggalkan bagian-bagiannya atau
debu-debunya, demikian pula dengan jenazah Sri Bhagavā setelah terbakar,
apa yang dinamakan kulit, jaringan, daging, urat-uratan serta cairan, tidak
nampak debu atau bagian-bagiannya, hanya tulang-tulang yang tertinggal. Dari
kelima ratus lapisan kain linen pembungkusnya, hanya dua yang tidak musnah,
yaitu yang paling dalam dan yang paling luar.
Setelah api kremasi
padam, suku Malla dari Kusinārā, mengambil relik (sisa jasmani) Sri Bhagavā, lalu
ditempatkan di tengah-tengah ruangan sidang mereka, yang kemudian dipagari
sekelilingnya dengan anyaman tombak-tombak, lalu dilapisi lagi dengan pagar
dari panah dan busur-busur.
Di sanalah mereka
mengadakan upacara puja bakti selama tujuh hari. Untuk menghormati
relik Sri Bhagavā dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian,
serta mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti
terhadap relik Sri Bhagavā.
PEMBAGIAN RELIK-RELIK SRI BHAGAVĀ
Kemudian Raja
Magadha, Ajātasattu, putera Ratu Videhi, mendengar bahwa Sri Bhagavā telah
mangkat di Kusinārā. Ia mengirim utusan kepada suku Malla di Kusinārā dan
menyatakan: “Sri Bhagavā adalah seorang kesatria; demikianlah pula saya. Karena
itu saya pantas untuk menerima sebagian relik Sri Bhagavā. Untuk relik Sri
Bhagavā itu saya akan dirikan sebuah stupa; dan untuk menghormati-Nya, saya
akan mengadakan suatu kebaktian dan perayaan.”
Demikian pula halnya
dengan orang Licchavi dari Vesāli, suku Sakya dari Kapilavatthu, suku Bulī
dari Allakappa, suku Koliya dari Rāmagāma, sang Brahmana dari Vethadīpa, Suku
Malla dari Pāvā, mereka telah mendengar Sri Bhagavā telah mangkat di
Kusinārā, mereka segera mengirim utusan mereka untuk mendapatkan bagian relik
Sri Bhagavā.
Tetapi suku Malla di Kusinārā
menolak untuk memberikan kepada mereka. Dan situasi menjadi memanas. Pada saat
kritis ini, Brahmana Dona datang untuk mendamaikan mereka, ia berkata:
“Wahai
saudara-saudara dengarlah sepatah kata dariku, Sang Buddha, Maha Guru yang kita
junjung tinggi, telah mengajarkan, agar kita selalu bersabar, sungguh tak
layak, jika timbul ketegangan nanti, timbul perkelahian, peperangan karena
relik Beliau, Manusia Agung yang tak ternilai. Marilah kita bersama, wahai para
hadirin, dalam suasana persaudaraan yang rukun dan damai, membagi menjadi
delapan, peninggalan yang suci ini, sehingga setiap penjuru, jauh tersebar di
sana sini, terdapat stupa-stupa yang megah menjulang tinggi, dan jika melihat
semua itu, lalu timbul dalam sanubari, suatu keyakinan yang teguh terhadap
Beliau.”
Lalu kumpulan
orang-orang itu menjawab, “Jika demikian, Brahmana, bagilah relik Sri
Bhagavā dengan cara terbaik dan teradil menjadi delapan bagian yang sama rata!’
Kemudian Brahmana
Dona membagi dengan adil, dalam delapan bagian yang sama, semua
peninggalan Sri Bhagavā itu. Setelah selesai membagi itu, ia berkata
kepada sidang demikian: “Biarlah tempayan ini, saudara-saudara berikan
kepadaku. Untuk tempayan ini akan kudirikan sebuah stupa, dan sebagai
penghormatan, aku akan mengadakan perayaan dan kebaktian.” Tempayan itu lalu
diberikan kepada Brahmana Dona.
Namun kemudian suku
Moriya dari Pippalivana mengetahui bahwa Sri Bhagavā telah mangkat di
Kusinārā. Mereka mengirim suatu utusan pada kaum Malla dari Kusinārā untuk
mendapatkan relik Sri Bhagavā. Tetapi oleh karena relik sudah habis terbagi,
maka mereka dianjurkan mengambil abu-abu dari peninggalan Sri Bhagavā. Dan
mereka mengambil abu-abu dari Sri Bhagavā, lalu dibawa pulang ke kotanya.
Kemudian raja dari
Magadha, Ajatasattu, putera dari ratu Videhi, mendirikan sebuah stupa besar
untuk relik Sri Bhagavā, di Rajagaha, dan sebagai penghormatan diadakan suatu
perayaan dan kebaktian. Orang Licchavi dari Vesāli mendirikan sebuah stupa
besar untuk relik Sri Bhagavā di Vesāli. Suku Sakya dari Kapilavasthu
mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sri Bhagavā di Kapilavatthu.
Suku Bulī dari Allakappa mendirikan sebuah stupa besar untuk
relik Sri Bhagavā di Allakappa. Suku Koliya dari Rāmagāma mendirikan
sebuah stupa besar untuk relik Sri Bhagavā di Rāmagāma. Brahmana
dari Vethadīpa mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sri Bhagavā
di Vethadīpa. Kaum Malla dari Pāvā mendirikan sebuah stupa besar untuk
relik Sri Bhagavā di Pāvā. Suku Malla dari Kusinārā mendirikan sebuah
stupa besar untuk relik Sri Bhagavā di Kusinārā. Brahmana Dona mendirikan
sebuah stupa besar untuk Tempayan (bekas tempat relik Sri Bhagavā). Suku Moriya
dari Pipphalivana mendirikan sebuah stupa besar untuk abu Sri Bhagavā di
Pipphalivana, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Demikian maka
terdapat delapan stupa untuk relik Sri Bhagavā dan stupa yang kesembilan
untuk tempayan dan stupa yang kesepuluh untuk abu Sri Bhagavā.
Demikianlah riwayat
hidup Buddha Gotama, Sri Bhagavā, Arahant, Sammāsambuddha.
Evam
PERMASALAHAN SEJARAH
Secara tradisi,
riwayat hidup Buddha Gotama dihiasi dengan peristiwa-peristiwa yang luar biasa,
yang tidak umum, yang tidak bisa ditemukan pada masa sekarang dengan kaca mata
awam, seperti bunga yang bermekaran sebelum musimnya, bayi baru lahir yang bisa
berjalan, perjalanan ke surga, dan sebagainya. Oleh karena itu ada yang
berpendapat bahwa kisah mengenai Siddhattha adalah suatu mitos dan tokoh
Siddhattha sebenarnya tidak pernah ada.
Namun, Prof. Hermann
Oldenberg (1854 – 1920), seorang sarjana Indologi asal Jerman, berpendapat
bahwa kisah mengenai Siddhattha disesuaikan dengan keadaan pada masa itu. Oleh
karena itu jika kita ingin mengetahui kebenarannya, maka segala kisah yang luar
biasa harus ditiadakan. Kemudian sisa dari kisah tersebut disusun sehingga
mendekati keadaan yang sebenarnya. Sebagai kesimpulan, Prof. Oldenberg
berpendapat bahwa Siddhattha memang benar-benar pernah ada. Begitu juga dengan
Prof. Johan Hendrik Caspar Kern (1833 – 1917) salah seorang pendiri dari Studi
Oriental di Belanda. Beliau mengakui bahwa Siddhattha, memang pernah ada.
Beberapa penemuan
arkeologi seperti penemuan situs Lumbini pada tahun 1896 oleh para arkeolog
Nepal, penemuan situs Kapilavatthu (Kapilavastu) di Tilaurakot, Nepal pada abad
ke-19, serta penemuan situs Nigrodharama yang juga berada di Nepal, memperkuat
bahwa kisah mengenai Pangeran Siddhattha bukanlah fiksi. Ia adalah tokoh
sejarah.
Pada masa sekarang,
pada umumnya para ahli sejarah mengakui bahwa Siddhattha adalah tokoh yang
pernah ada. Namun, terlepas dari pendapat dari para ahli sejarah maupun
penemuan arkeologi di atas, kehidupan pribadi Pangeran Siddhattha sebelum
menjadi Buddha tidaklah menjadi hal yang utama bagi umat Buddha. Tetapi, yang
menjadi hal utama bagi umat Buddha adalah ajaran-Nya – ajaran yang membawa pada
pembebasan dari dosa (kebencian), lobha (keserakahan) dan moha (kegelapan
batin).
Catatan:
- ākāsānañcāyatana, berasal dari kata ākāsā (ruang) + ananca (nirbatas) + āyatana (dasar batin, tataran), merupakan tingkat ke-1 dari kondisi batin mencerap yang disebut arūpajhāna (jhāna tanpa bentuk); disebut juga jhāna ke-5.
- viññāṇañcāyatana, berasal dari kata viññāṇa (kesadaran) + ananca (nirbatas) + āyatana (dasar batin, tataran), merupakan tingkat ke-2 dari kondisi batin mencerap yang disebut arūpajhāna (jhāna tanpa bentuk); disebut juga jhāna ke-6.
- ākiñcaññāyatana, berasal dari kata ākiñcañña (tanpa ada apa pun, ketiadaaan) + āyatana (dasar batin, tataran), merupakan tingkat ke-3 dari kondisi batin mencerap yang disebut arūpajhāna (jhāna tanpa bentuk); disebut juga jhāna ke-7.
- nevasaññā-n’asaññāyatana, berasal dari kata nevasaññā (bukan pencerapan) + n’asañña (bukan tanpa pencerapan)+ āyatana (dasar batin, tataran), merupakan tingkat ke-4 dari kondisi batin mencerap yang disebut arūpajhāna (jhāna tanpa bentuk); disebut juga jhāna ke-8.
- saññāvedayita-nirodha, berasal dari kata saññā (pencerapan) + vedayita (perasaan, pengalaman) + nirodha (padam, berhenti, berakhir), merupakan kondisi saat fungsi batin atau kesadaran yaitu perasaan dan pencerapan berhenti atau padam.
- Berdasarkan konsensus sejarawan awal abad ke-20 menetapkan tahun 483 Sebelum Era Umum (SEU).
Kepustakaan:
- Maha Parinibbana Sutta; Pandita Pannasiri, Cornelis Wowor, MA, CV. Lovina Indah, Jakarta, 1989.
- The Great Chronicle of Buddhas; Tipiṭakadhara Miṅgun Sayadaw (Mingun Sayadaw U Vicittasarabivamsa), Myanmar, 1960.
- Riwayat Hidup Buddha Gotama; Pandita. S. Widyadharma, Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, Jakarta, 1993.
- Kronologi Hidup Buddha; Bhikkhu Kusaladhamma, Yayasan Penerbit Karaniya, Jakarta, 2006.
- Buddha: His Life, His Doctrine, His Order; Hermann Oldenberg, Williams, London,1882
- Samanta Buddhist Glossaries; Buddhistdoor.com
- Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit; Spokensanskrit.de
Dikutip dari : Bhagavant.com
Posting Komentar