Kelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran Siddhattha
KELAHIRAN
BODHISATTA
Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana –
raja dari kerajaan suku Sākya (Sokyā, Sakka, Sākiyā), yang sedang mengandung
dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan
dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu), ibu kota Kerajaan Sākya,
menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan
suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.
Saat itu,
hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha)[1],
tahun 623 Sebelum Era Umum (secara konsensus sejarawan awal abad ke-20
menetapkan tahun 563 SEU) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (SEB).
Dalam
perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī,
bersama rombongan kerajaan melewati Taman Lumbini (sekarang berada di wilayah
Nepal), sebuah hutan pohon shala sāla (Pali: Latin: Shorea
robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha,
di Nepal Selatan. Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut
sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman
tersebut Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di
dalamnya.
Ketika
Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan
pohonsāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat
berdiri dan memegang dahan pohon sāla ia merasakan tanda-tanda
kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area
tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada
dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang
pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha; baca: Bud-dha).
Pada hari
yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi istri Sang
Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha,
Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka
yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang
Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau
disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan
munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).
Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā dengan
membawa Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para
penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.
TAWA DAN
TANGIS PETAPA ASITA KĀLADEVALA
Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi
seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga
sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera
berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat
pangeran kecil tersebut.
Ketika
Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung
(Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya.
Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari
seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan
kepada Sang Pangeran, Raja pun turut memberi penghormatan kepada
putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena
bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia
menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa
menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan
membabarkan ajaran-Nya.
UPACARA PEMBERIAN NAMA
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja
Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai
dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar
dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana
yang terkemuka.
Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh
Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta
(Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua
kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan
menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi
petapa.
Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan
brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya
ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan
Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.
Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu
raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa
setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati,
dan petapa.
Setelah
itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha)
yang berarti “yang berhasil mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta:
Gautama).
WAFATNYA
RATU MAHĀMĀYĀ
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran
Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga
istri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus
ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī
Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama
Sundari Nanda (Rupananda).
Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha
seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir
beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi
seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .
PERAYAAN
BAJAK TANAH
Tiba waktunya bagi Kota Kapilavatthu mengadakan
perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja
Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun
ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para
petani.
Pada saat
perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga
Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin
menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon
jambul (Latin:Eugenia Jambolana). Dan pada saat itu suasana di sekitar
pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi.
Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi
memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).
Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran
sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka
melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani
berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan
mereka pun menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan
kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada
saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran
sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk
kedua kalinya kepada putranya tersebut.
MASA
KECIL DAN PENDIDIKAN
Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam
kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya
muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika
ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan
digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan,
kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala,
jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk
menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam
teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma
dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan teratai putihnya.
Ketika
Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya.
Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa
depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut
mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya
untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang
tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam
bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan
keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik
(śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata
pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri
seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan
terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah
siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru
dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan
di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak
pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya
terhadap guru-guru-Nya.
Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu.
Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang
dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan
dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga
menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci
dan kijang.
WELAS
ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin
dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang
pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang
beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya
dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh
dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut.
Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta
juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu
mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa
tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar
unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya
terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa
angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran
Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah
menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih
hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini
dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak
atas angsa tersebut.
Setelah
diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut
berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau
menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha
menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh
Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya,
yaitu Pangeran Siddhattha!”[2]
PERNIKAHAN
Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang
dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai
Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan
bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk
hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun
tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk
musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.
Pada saat itu tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64
SEB, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang
pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta
welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja
khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang
pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan
akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan
pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada
delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan
putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah
satunya sebagai istri.
Berita pemilihan istri tersebut ditanggapi negatif
oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak
memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak
memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari
nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat
tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran
lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan
apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya
dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para
pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus
merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi istri-Nya.
Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya
yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita,
saudara perempuan Raja Suddhodana.
MELIHAT PENAMPAKAN PERTAMA: ORANG TUA
Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52
S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha
tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya.
Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk
mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah
mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa,
kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan
hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja
untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh
pangeran.
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki
tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat
terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak
mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya,
Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut
dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa
kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera
memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah
lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh
apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya,
ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin
tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja
menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah
penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis
penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.
MELIHAT PENAMPAKAN KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali
lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin
kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk
kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat
hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan
pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia
mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa,
pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki
melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan,
panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya
sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba
terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan.
Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang
berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan,
wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi
tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat
hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih
pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran
yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang
terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya
pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab
bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal
itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua
fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena
tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama
kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan
memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis
penari.
MELIHAT PENAMPAKAN KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup
istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya
menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran
Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya
kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar
sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga
berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan,
tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut
mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering
terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang
menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang
terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah
mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi
tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh
hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak
lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia
kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan
dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah
mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu
mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar
ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi
tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa
pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali
menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya
agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga
terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan
brahmana.
MELIHAT PENAMPAKAN KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan
merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke
kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui
sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain
kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana
senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga
peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi
sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh
sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali
memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata
ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki
alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana
melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah
duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan
kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya
kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang
petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa
terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu
tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa
tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai
diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri
petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan
kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya
jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.
LAHIRNYA RĀHULA
Ketika
Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan
untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus
oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang
bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati
dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam”[3] (“Sebuah
ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran
putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada
keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan
yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan.
Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja
Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang
berarti “ikatan”.
Catatan:
[1] Pali: Vesākha (baca: Wesakha); Sanskerta: Vaiśākha (baca: Waisakha); Vesak (baca: wesak); Waisak.
[1] Pali: Vesākha (baca: Wesakha); Sanskerta: Vaiśākha (baca: Waisakha); Vesak (baca: wesak); Waisak.
[2] Kisah
ini tidak ditemukan di dalam kepustakaan kitab-kitab berbahasa Pali, tetapi
dalam kitab-kitab berbahasa Sanskerta danTibet.
[3] Dalam
mitologi Hindu, Rāhu adalah makhluk asura yang
dianggap sebagai penyebab gerhana matahari dan bulan dengan menahan/menyandera
ke dua benda langit tersebut dengan cara melahapnya. Kata “rāhu” sendiri
berarti menangkap, menawan, atau menahan.
Bhagavant.com
Posting Komentar