Diambil dari
naskah asli
bertuliskan
huruf Jawa
yang disimpan
oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke
aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
38. Guru tiga duk
miyarsa, sru nyêntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila, Gatholoco anauri,
Ingsun gila sayêkti, yen wêruh kaya dhapurmu, wêdi bok katularan, ora duwe mata
kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.
Ketiga Guru
begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding, Gatholoco kamu gila!
Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut
ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu
berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja.
39. Kyai Guru tiga
pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco amangsuli, Iku
bênêr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kêna ing pêjah, lamun wis
tumêkeng jangji, yêkti mulih mring asale padha Ilang.
Ketiga Guru
semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang! Gatholoco menjawab
seenaknya, Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua
terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua
meng-Hilang! (Inilah sikap bijak seorang yang tercerahkan. Manakala dia dihina,
maka dia akan merespon dan memaknai hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco
di caci sebagai anak Jalang, tapi Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang
tapi malah mendengar kata Hilang. Contohlah sikap seperti ini.)
40. Kiraku manawa sira, mêtu
saking rêca wêsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru nauri,
samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap, Iku bangêt trima-mami, krana sira
têlu pisan misuh mring wang.
Kukira mungkin
kalian, lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena terlihat kalian
tidak mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab, dengan mengumpat
Turuk biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco berkata, Sangat berterima
kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan ibuku).
41. Sira nuduhake
biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang
sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake
maring wang, iku ingkang sun-sungkêmi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.
Kalian telah
berani menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku sendiri
tidak yakin pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang Aku
jadikan pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu yang
mengakui, telah memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan tetapi
didalam hati sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir dari
sebuah vagina!)
42. Iya iku bapa biyang, ingkang
wêruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngêndi,
lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau wêruh iku
ujar ambêlasar.
(Mungkin)
hanya bapak dan ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku terlahirkan,
akan tetapi sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah
berani menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian
tahu pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa
ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah
bersaksi palsu!
43. Krana ingsun nora wikan,
wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane
raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana satêngahing bumi,
lawan sira kala karya raganira.
(Ketahuilah)
sesungguhnya Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud dengan
sendirinya (bukan dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah tidak
menciptakan Aku (Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh: Atma
atau Ruh tidak diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh. Atma dan
Ruh adalah percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku, (memang)
buatan Hyang Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya menciptakan Raga atau
Tubuh Fisik semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia, ada ditengah-tengah
bumi, manakala membuat raga kalian (Maksudnya dicipta ditengah ruang dan waktu
relatif semesta raya).
44. Sawindu lawan sawarsa, rolas
wulan pitung ari, pêndhak pasar ratri siyang, saêjam sawidak mênit, ora kurang
tan luwih, wukune mung têlung puluh, raganingsun duk daya, sarta wus wani
nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.
Sawindu
(siklus delapan tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari, Pêndhak
Sêpasar (siklus hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lêgi, Pahing, Pon dan Wage)
Malam dan Siang, Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang dari itu,
Wuku-nya hanya tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh
harian/seminggu. Ada tiga puluh Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total
tiga puluh Wuku memakan waktu 210 hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu
relatif duniawi seperti contoh diatas) Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk
(maksudnya tercipta), serta sudah berani menghina (maksudnya juga tercipta
Tubuh Halus/Suksma Sariira yang menyelimuti kesadaran Atma sehingga berubah
menjadi sosok makhluk yang tidak murni), ketahuilah hal ini sekarang juga.
45. Badanku kêna ing rusak,
urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulullah andandani, krana ingsun
kêkasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggêsangakên saliring
tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muhammad.
Badanku bisa
rusak, (akan tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan tubuh ini,
Rasulullah (Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku (Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah)
adalah kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh
Fisik/Sthula Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi
bagi seluruh sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari
Suksma Sariira), menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya) Aku
(Ruh/Atma) adalah juga Allah adalah juga Muhammad.
46. Guru tiga asru mojar, Sira
wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatholoco nauri,
Ngawruhi dadine lêbur, kalawan pêparêngan, karsane Kang Maha Suci, ingsun dhewe
tan kuwasa apa-apa.
Ketiga Guru
keras berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan Tuhan, apa
kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan leburnya (maksudnya
menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian saat terlahirkan sebagai
Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha Suci, aku sendiri tak
berkuasa apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma masih terikat oleh
Suksma Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik, Atma hanya mampu
mengetahui kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus kehidupannya ini saja,
sedangkan diluar itu, Atma belum mampu menyadari).
47. Ragengsun wujuding Suksma,
angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya mami,
Muhammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan
lawan dhiri, kabeh iku kagungane Rasulullah.
Ragaku adalah
wujud Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang Suksma, yang
artinya Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas adalah Hyang
Widdhi yang terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi) sendiri, mampu
pula beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad (Atma/Ruh juga adalah
wujud Hyang Widdhi) yang memiliki, pengucapan penglihatanku, penciuman dan
pendengaranku, lesan dan pribadi ini, semua itu milik Rasulullah (Atma/Ruh).
(Maksudnya baik Raga/Sthula Sariira hingga Atma – dalam bahasa Gatholoco adalah
Muhammad atau Rasulullah- semua adalah perwujudan Hyang Suksma atau Hyang
Widdhi atau Tuhan. Atma ini tiada beda dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika
dinyatakan, seluruh pengucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran dan
sebagainya sesungguhnya adalah milik Atma.)
48. Ingsun ora apa-apa, mung
pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi,
duwekingsun mung sêpi, basa sêpi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk
durung dadi, têtêp suwung ora wêruh siji apa.
Aku ini tidak
memiliki apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang menjadi miliku,
itu saja jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak mendapatkan kasih
(Hyang) Widdhi, milikku hanyalah sêpi, arti kata sêpi adalah kosong, tidak ada
apa-apa, bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak mengetahui apa-apa.
(Maksudnya wujud manusia ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan juga. Manusia
itu ‘tidak ada’. Yang ada hanya ‘perasaan merasa ada dan memiliki pribadi yang
terpisah dengan Tuhan’. Jika ‘illusi merasa ada dan merasa memiliki pribadi
yang terpisah dengan Tuhan’ ini tersingkap, maka yang ada hanyalah KOSONG.
KOSONG itulah KEABADIAN DAN KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)
49. Abdul Jabar nulya mojar, Sira
iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kêna rusak
bilahi, ora langgêng sira wutuh, Gatholoco angucap, Ingkang rusak iku bumi,
kalimputan wujud-mami lan Pangeran.
Abdul Jabar
lantas berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang) Suksma, padahal
ragamu itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi selamanya,
Gatholoco berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi (kata bumi
hanya mewakili segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujud-Ku (Atma) dan
Tuhan (Brahman).
50. Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan
kêna rusak bilahi, ingkang langgêng swarga mulya, Kyai Guru anauri, Yen
mangkono sireki, wêruh pêsthine Hyang Agung, kang durung kalampahan, Gatholoco
anauri, Wêruh pisan pêsthine mring raganingwang.
Aku Yang Maha
Mulia, tak bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan sesungguhnya surga mulia
(Jannatun Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah) itu sendiri, Kyai Guru
menyahut, Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir Hyang Agung yang belum
terjadi? Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa membuat takdir yang bakal terjadi
pada diriku.
51. Ingsun pêsthi awakingwang,
wayah iki dina iki, jêjagongan lawan sira, mêngko gawe pêsthi maning, kang
durung den lakoni, kanggone mêngko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang
luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.
Telah aku
tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua,
nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan
kelak, harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih
(tetap dalam keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka.
(Gatholoco sebenarnya hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat, dimana
takdir itu yang membuat adalah kita sendiri)
52. Kalawan ngrusak gulungan, iku
bangêt wêdi-mami, wêdi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis, mulane
ngati-ati, gawe pêsthi aja kliru, Kyai Guru angucap, Kang durung sira lakoni,
bêja sarta cilakamu besuk apa.
Jika sampai
merusak gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk sehingga merangkai
takdir buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut jika sampai
dimarahi, oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam dan mencatat
segala perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati, membuat takdir
jangan sampai keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu jalani, untung dan
celakamu besok bagaimana?
53. Aneng ngêndi
kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabên dina urip-mami,
kalawan ngudanêni, ning sawatês umuringsun, kalamun parêk ajal, sajroning rolas
dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.
Dimanakah
kuburmu? Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat dalam
kehidupanku, serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal, dalam
dua belas hari, baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar. Manusia
yang kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat kematiannya
sendiri!)
54. Yen gawe pêsthi samangkya,
papêsthene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki pêsthi, bêcike
sabên lawan ari, anggawe papêsthen iku, manut sênênging driya, dadi ora kurang
luwih, ora angel ora cidra ing sêmaya.
Membuat takdir
itu, takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang seimbang (maksudnya
membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan sehingga menunjang lepas dari
dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir (yang menunjang pelampauan
dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam membuat takdir, dibuat dalam
keadaan pikiran yang bahagia (pikiran positif), sehingga hasilnya kelak tidak
akan lebih dan kurang (seimbang), tidak membuat kesukaran (dalam proses evolusi
Atma) dan tidak membuat ingkar janji (mengingkari tujuan hidup yang sejati
yaitu menyatu dengan SUMBER ABADI SEMESTA).
55. Kyai Abdul Jabar ngucap,
Pêsthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Iku
pêsthening Widdhi, dudu pêsthi saking ingsun, Allahku sabên dina, anggawe
papêsthen mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.
Kyai Abdul
Jabar berkata, (Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang belum
terlaksana, Gatholoco menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan ketetapan
dari-(Atma)ku, Allah-ku setiap hari, membuat ketetapan bagiku, menuruti kepada
semua kehendak-ku. (Disini jelas harus dibedakan, mana takdir yang dibuat oleh
manusia untuk dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya,
dengan takdir jalannya siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri sendiri
kitalah yang membuat, tapi takdir jalannya siklus semesta raya, manusia tidak
bisa membuatnya.)
56. Guru tiga sarêng ngucap,
Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatholoco anauri, Bênêr pan ora
sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam samar, tumêka ing jaman mangkin,
setaningsun durung pisah saking raga.
Ketiga Guru
sama-sama berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan setan! Gatholoco
menjawab, Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir, didalam alam yang
samar, hingga pada jaman aku lahir (kembali sekarang), setanku belum bisa aku
pisahkan dari diriku!
57. Basa setan iku seta, asaling
bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun durung
mangrêti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma, tumêka kalamullahi,
sayêktine ingsun asal Kama Pêthak.
Setan itu
berasal dari (air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya pertama kali,
berwarna putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang tua
laki-laki, hingga aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam
diriku), sesungguhnya aku (Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama
Pêthak (sperma berwarna putih)!
58. Mênêk Guru têlu sira, Kama
Irêng ingkang dadi, dene buntêt tanpa nalar, Abdul Manap duk miyarsi, mojar
mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih
awet urip, ora wurung ngrusak sarak Rasulullah.
Akan tetapi
kalian ketiga Guru, Kama Irêng (sperma hitam) asal kalian (sperma yang berisi
roh-roh terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul Manaf) begitu
mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), serta kepada Abdul Jabar
Jika kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap hidup, tidak
urung akan merusak syari’at Rasulullah!
59. Iku wong mbubrah agama, akarya
sêpining masjid. Gatholoco asru ngucap, Den enggal nyuduk mring mami, sapisan
nyuduk jisim, pindho bathang sira suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring
mami, saurira Mung lêga rasaning driya.
Orang ini
merusak agama, bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras berkata, Segeralah
tusuk Aku, pertama kamu hanya akan mampu menusuk tubuh fana ini saja, kedua
kamu hanya akan mampu menusuk bangkai (tidak bakalan kalian mampu menusuk yang
namanya ‘Aku’)! Berhutang apakah Aku pada kalian? Sehingga kalian hendak
membunuh ‘Aku’? (sesungguhnya kalianlah yang telah banyak berhutang pada-Ku)!
Terdengar jawaban, Agar puas rasa hati kami!
60. Krana sira ngrusak sarak,
Gatholoco anauri, sarak tan kêna rinusak, pinêsthi dening Hyang Widdhi,
…………………………, ………………………, …………………….., iku têtêp aran janma ngrusak sarak.
Karena kamu
telah merusak syari’at! Gatholoco menyahuti, Syari’at (hukum yang sesungguhnya
alias hukum alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan demikian oleh Hyang
Widdhi, (belum saatnya saya terjemahkan……………….), Itulah sesungguhnya yang
dinamakan manusia perusak syari’at!!
61. Dene bangsane agama,
sasênêngne wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun têrus lair batin, yêkti
katrima ugi, Guru têlu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku
kang aran Agama Rasa.
Semua agama,
terserah kepada pribadi masing-masing, walaupun agama berasal dari Cina,
apabila mantap lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama kalian, itu
agama sombong, agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama Rasa.
62. Têgêse Agama Rasa, nuruti
rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning lêgi
gurih, pêdhês asin sêpêt kêcut, pait gêtir sadaya, sira agama punapi, saurira
Agamaku Rasulullah.
Maksud dari
Agama Rasa, mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu semua aku
amati, rasa manis gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir semuanya
(Gatholoco tengah menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih Kesadaran agar
senantiasa awas dengan segala gejolak pikiran dan segala sensasi tubuh),
sedangkan kalian agama apakah, Mereka menjawab Agamaku agama Rasulullah!
63. Gatholoco asru ngucap, Patut
sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sêpi, sul asal
têgêsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa pamit,
sakancane garundêlan urut marga.
Gatholoco
keras menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa mengamati
rasa diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa), makanya
kalian bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi tanpa pamit,
seluruh yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.
64. Sangêt dennya nguman-uman,
Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul Manap, salawasku urip iki, aja pisan
pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata, jroning ngimpi
ingsun sêngit, yen kapêthuk sun mingkar tan sudi panggya.
Sangat-sangat
sakit hati, Ahmad Ngarip (Ahad ‘Arif) berkata pelan, Abdul Jabar Abdul Manap
(Abdul Manaf), selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu lagi, dengan
orang yang tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika (seperti
Gatholoco), bahkan didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan menghindar
tidak sudi bertemu!
65. Gatholoco kang tinilar, aneng
ngisoring waringin, rumasa yen mênang bantah, mangkana osiking galih, bangêt
kêpati-pati, angêkul sameng tumuwuh, Sun-kira luwih manah, pangawruhe Guru
santri, dene iku isih bodho kurang nalar.
Gatholoco yang
ditinggal, dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang dalam berdebat,
begini kata hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak manusia yang
tidak sadar seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan Guru para sanri
(tadi), ternyata masih bodoh kurang nalar.
66. Durung padha durung timbang,
yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti ingsun-gêlar, kawruhku kang luwih
edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang
muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang menda janma.
Sangat-sangat
tidak seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga aku wedarkan,
pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah tak bisa
menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan ilmu tanpa
buddhi (kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai manusia.
67. Lamun wulange manusa, mêsthine
pada mangrêti, mring duga lawan prayoga, aywa karêm karya sêrik, mulane kudu
eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanên den kapanggih,
yen pinanggih padhang têrang sagung nalar.
Jika benar-benar
manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang
menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi,
yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu
akan terang benerang kesadaran ini.
68. Yen padhang têgêse gêsang,
lamun pêtêng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sujati yen luwih
wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodhone kêpati-pati,
cupêt kawruh pêtêng nalar maknanira.
Terang itu
hidup, sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai kesadaran, itulah
manusia sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar dan halus (dualitas
duniawi), tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat bodoh, sempit wawasan
gelap kesadarannya.
69. Gatholoco gya lumampah,
têtêmbangan urut margi, kêbo bang kagok (sapi) upama, ‘sapi-san’ maning
pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora ‘mun-dur’ bantah kawruh,
pêlêm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda warni (slira), bêcik ingsun
‘ngênte-ni’ lan ‘ura-ura’.
Gatholoco
segera beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau berwarna merah
keputihan (SAPI maksudnya), ‘SAPI-san’ (sekali lagi) bertemu, binatang bibis
yang hidup diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan ‘mun-DUR’ jika harus
berdebat lagi, mangga besar dengan baunya yang harum (mangga KWENI), binatang
kawuk yang berganti rupa (binatang SLIRA), lebih baik aku ‘ngente-NI’ (menanti)
sembari ‘u-RA-u-RA’ (berdendang).
70. Gude rambat (kara) puspa
krêsna (tlasih), ‘mani-ra’ pan ‘i-sih’ wani, witing pari (dami) enthong palwa
(wêlah), ora nêja ‘ka-lah ma-mi’, araning wisma paksi (susuh), ‘mung-suh’ sira
guru pêngung, parikan ulêr kambang (lintah), ingsun sênêng ‘ban-tah’ ilmi,
wêlut wisa (ula) tininggal atiku ‘gê-la’.
Tumbuhan Gude
yang merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH), mani-RA (diriku)
sungguh ‘ma-SIH’ berani, batang padi (DAMI) centhong perahu (dayung atau
WÊLAH), tidak akan ‘ka-LAH ma-MI (diriku)’, nama rumah burung (SUSUH),
‘bermu-SUH-an’ dengan kalian guru bodoh, ulat yang mengambang diair (LINTAH),
aku sangat suka ‘berban-TAH-an’ ilmu, belut yang berbisa (ular atau ULA)
ditinggal hatiku ‘gê-LA (kecewa)’.
71. Mendhung pêthak (mega) kunir
pita (têmu), ‘muga-muga têmu’ maning, têpi wastra rinumpaka (kêmadha), banjur
‘pa-dha’ maring ngêndi, kayu rineka janmi (golek), apa ‘golek’ guru jamhur,
sarkara munggeng tala (madu), arsa den ‘a-du’ lan mami, wadhung rêma (cukur)
malah ‘so-kur’ yen mangkana.
Mendung
berwarna putih (MEGA) kunyit merah (TÊMU), ‘semo-GA bertê-MU’ lagi, pinggir
kemben yang dirias (KÊMADHA), lantas ‘pa-DHA (sama)’ kemana semua? Kayu yang
dibuat seperti wujud manusia (GOLEKAN), apa mau ‘GOLEK (mencari)’ Guru
terkenal? Cairan manis diatas pohon (MADU), hendak ‘di-ADU’ dengan aku,
cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah ‘syu-KUR’ jika memang begitu.
72. Jangkrik gung wismeng kêbonan
(gangsir), manira ora ‘guming-sir’, bêbasan putrane menda (cêmpe), ‘sakarê-pe’
sun-ladeni, jamang wakul (wêngku) upami, angajak apa ‘sire-ku’, duh lae putêr
wisma (dara), nganggo ‘si-ra’ mêjanani, kênthang rambat (katela) sanajan rupaku
‘a-la’.
Jangkrik
bertubuh besar berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan
‘guming-SIR (mundur)’, anak kambing (CÊMPE), ‘sakare-PE (semaunya)’ aku layani,
mahkota tempat nasi (WÊNGKU), mau mengajak apa ‘sire-KU (dirimu)’, burung Puter
yang suka dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga ‘si-RA (kamu)’
menghinaku, buah kentang yang merambat (KÊTELA) walaupun wajahku ‘a-LA
(jelek)’.
73. Mênyawak kang sabeng toya
(slira), ‘praka-ra’ mung bantah ilmi, wulu bauning kukila (êlar), kabeh
‘na-lar’ sun tan wêdi, sayêkti pintêr mami, tinimbang lan sira guru, kaca
tumraping netra (têsmak), ora ‘ja-mak’ mejanani, mulwa rêngka (srikaya) yen
sira luru ‘sara-ya’.
Biawak yang
suka di-air (binatang SLIRA), ‘perka-RA’ tentang berdebat ilmu, bulu
punggungnya burung (ÊLAR), segala ‘na-LAR’ (pengetahuan) aku tidak takut, pasti
lebih pintar aku, daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata atau
TÊSMAK), ‘ora ja-MAK (tidak lumrah, sudah melampaui batas)’ penghinaan kalian,
buah nangka yang gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari ‘sara-YA
(cara)’.
74. Kêmadhuh rujit godhongnya
(rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngêndi srayanira, najan jamhur luwih wasis,
ingsun wani nandhingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun mundura, yeku
karsane Hyang Widdhi, raganingsun yêktine darma kewala.
Daun kemadhuh
bergerigi (RAWE), jangan ‘su-WE (lama)’ aku nantikan, guru mana yang kamu
andalkan, walaupun tersohor dan pintar, aku berani menandingi, melayani
berbantah ilmu, tidak akan aku mundur, karena ini semua kehendak Hyang Widdhi,
diriku hanya sekedar menjalani.
75. Gatholoco sukeng driya,
rêrêpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan mampir,
manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandhut, saglindhing dipun
untal, ngrasuk badan anyêgêri, kraos gatêl astane ngukur sarira
Gatholoco suka
dihati, berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja, sampai
disebuah tempat lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan duduk, mengambil
candu yang di bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk badan menyegarkan,
terasa gatal tangannya menggaruk tubuh.
Damar
Shashangka
Posting Komentar