.
Featured Post Today
print this page
Latest Post
>>>>> SEMOGA SEMUA MAKHLUK HIDUP BERBAHAGIA <<<<<


SERAT GATHOLOCO_10

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa

yang disimpan oleh

PRAWIRATARUNA.


Digubah ke aksara Latin oleh :

RADEN TANAYA


Diterjemahkan dan diulas oleh :

DAMAR SHASHANGKA
48. Para santri tutup grana, wontên ingkang ngalih denira linggih, Kasan Bêsari amuwus, Sira jênêngmu sapa, wangsulane Gatholoco araningsun, Kasan Bêsari têtanya, Apa kang sira-sangkêlit.
Seluruh santri menutup hidung, bahkan ada yang pindah tempat duduk (menjauh), (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) bertanya, Siapa namamu? Menjawab yang ditanya Gatholoco namaku, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) kembali bertanya, Apa yang kamu selipkan dipinggang (itu)?

49. Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang êning, ana dene pêntholipun, iki arane cupak, prêlu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron awar-awar kinardi.
Menjawab (Gatholoco) Ini lambang dari batang, batang kesadaran yang jernih, sedangkan bulatannya, namanya CUPAK, lambang dari pucuk kesadaran yang berguna untuk MAPAK (MEMOTONG) kesadaran yang salah (rendah), ramuan yang terdiri dari candu dan, calon daun awar-awar (daun awar-awar sangat gatal).

50. Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kêna bêndu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat, sênthile napas kang lungid.
Jarang manusia yang tawar, menikmati candu yang sudah dibuat bagai mimis (mimis adalah peluru kuno, berwujud bulatan. Candu yang sudah dibuat bagai mimis maksudnya dibentuk bulatan siap untuk dinikmat), jika tidak kuat hidup bagai terkena kutuk (disudutkan dan dihakimi oleh manusia-manusia yang rendah kesadarannya), jika sudah dinikmati akan awas kesadaran ini kepada Damar Murub (Pelita Yang Menyala, maksudnya Cahaya Kebenaran Sejati), lesannya puncak lidah (ini bahasa simbolik, maksudnya suara yang sejati untuk mencari Tuhan adalah puncak Rasa. Lidah symbol Rasa. Puncak Lidah berarti Puncak Rasa. Suara sejati dari puncak rasa untuk mencari Tuhan berarti suara yang tak terbahasakan, melampaui segala suara, melampaui segala bahasa. Itulah suara Ruh), yang menggetarkan (suara tersebut) adalah Nafas Yang Misterius (Maksudnya Dia Yang Hidup Tanpa Nafas, Brahman, Sumber Semesta).

51. Cêthute aran Dzatullah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cêthutipun, rumasuk jroning badan, sumarambah kulit daging balung sungsum, tyasingsun padhang nêrawang, ora kewran kabeh pikir.
Tempat hisapnya lambang Dzatullah (Dzat Allah, Inti Allah), (Puncak) Rasa bercampur dan menyatu menjadi satu, manunggal kedalam Tempat hisap (Dzatullah), menjadi satu kesatuan dalam satu badan, menyatu pada kulit daging tulang dan sumsum, Kesadaran-pun terang benerang, tak ada lagi illusi.

Pada (Syair) 49-51, maksudnya adalah sebagai berikut : Pipa hisap yang dibawa Gatholoco adalah lambang Kesadaran (Buddhi), hiasan bulatan pada batang pipa adalah lambng Awasnya Kesadaran untuk memilah mana yang patut dipakai demi peningkatan Kesadaran itu sendiri atau tidak (Wiweka), Candu yang dicampur bakal daun Awar-Awar, lambang begitu memabukkannya spiritualitas itu bila seorang manusia telah menyelaminya. Tapi jarang yang sanggup bertahan, karena spiritualitas menuntut keteguhan dan kekuatan yang luar biasa. Godaan dari dalam diri maupun penghakiman dari manusia lain, sangat sukar untuk dilampaui. Namun jika telah merasakan mabuk spiritual, maka kecenderungan Kesadaran akan terus lekat pada Damar Murub atau Cahaya Kebenaran Sejati.

Kompas spiritualitas, bukan teks-teks kitab suci, tapi LESANE PUCUKING ILAT. LESAN berguna untuk mengeluarkan suara, PUCUKING ILAT (PUNCAK LIDAH) adalah symbol Puncak Rasa. Puncak Rasa adalah ATMA/RUH.

SUARA DARI PUNCAK RASA berarti SUARA RUH. Inilah Radar sejati penuntun kita dijalan spiritualitas. Karena SENTHILE NAPAS KANG LUNGID (Yang menggetarkan suara itu adalah NAPAS YANG MAHA GAIB). Jelas sudah, yang membuat SUARA RUH itu tak lain adalah DIA YANG HIDUP TANPA NAFAS atau BRAHMAN itu sendiri.

Pangkal pipa ditempat penghisapan adalah lambing Dzatullah (Dzat Allah, Inti Brahman), Puncak Rasa (Ruh/Atma) apabila telah menyatu dengan Pangkal pipa (Brahman), maka menyatulah dalam satu kesatuan Wujud.

Disaat itulah semua illusi akan lenyap dan KESADARAN TOTAL PARIPURNA telah kita capai lagi.

52. Kasan Bêsari ngandika, Sira wani mapaki kawruh mami, nganggo sira wani nglêbur, mring sarak Rasulullah, apa sira nampik urip dhêmên lampus, ora wêdi manjing nraka, ora melik munggah swargi.
(Kyai) Kasan Besari (Hassan Bashori) berkata, Kamu bernai menantang ilmuku, dengan mencoba melebur, segala syari’at Rasulullah, apa kamu menolak hidup dan pilih mati? Tidak takutkah kamu masuk neraka? Tidak inginkah kamu naik surga?

53. Gatholoco alon ngucap, Kaya apa bisane nampik milih, wus pinêsthi mring Hyang Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.
Gatholoco pelan menjawab, Bagaimana bisa aku mau menolak (kehidupan)? Sudah menjadi kehendak Hyang Agung, (ketahuilah sesungguhnya apa yang dimaksud hidup dan mati itu), segala ‘kesedihan dan kesusahan’ (lahir berulang-ulang didunia) itulah yang disebut ‘kematian’, sedangkan segala ‘kemuliaan’ (lepas dari rantai kelahiran dan kematian), itulah yang disebut ‘kehidupan’.

54. Yen wong urip iku susah, mêtu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku, dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar, ora keno tinon lair.
Pun sesungguhnya jika manusia yang hidup didunia ini terus dilanda kesusahan, sesungguhnya itu juga karena hasil perbuatan pribadinya sendiri (karmaphala), itulah yang membuat kesedihan, sedangkan Yang Maha Mulia, sifat KASIH itulah sifat-Nya, akan tetapi semua tersamarkan, tak bisa dilihat oleh mata lahir. (Maksudnya ‘mata lahir’ adalah tak bisa disadari oleh mereka yang ‘mata’ kesadarannya belum melek, belum terbuka!)

55. Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira rasani, suwarga naraka iku, mangka katon wus cêtha, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing swarga, sapa mlarat manjing gêni.
Dirimu yang tak punya nalar, muluk-muluk yang kamu bicarakan, Surga dan Neraka itu, sesungguhnya telah terlihat nyata, siapa saja yang mulia hidupnya didunia ini, dialah yang masuk Surga, siapa yang melarat dialah yang masuk api.

56. Ya iku manjing naraka, Kyai Kasan Bêsari amangsuli, Suwarga naraka iku, besuk aneng akerat, Gatholoco sumaur sarwi gumuyu, Lamun besuk ora nana, anane namung saiki.
Yaitu masuk (api) Neraka, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Surga dan Neraka itu, (adanya) tergelar besok diakherat! Gatholoco menjawab sembari tertawa, Kelak tidak ada, yang ada sekarang ini!

57. Kyai Guru saurira, Nyata nakal rêmbuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan sarak Rasulullah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gêsang akarya sêpining masjid.
Kyai Guru (Hassan Bashori) berkata, Benar-benar kurang ajar ucapan manusia ini, menghujat Hyang Agung, dan syari’at Rasulullah, wajib dibunuh agar mampus, jika masih awet hidup, akan membuat semua masjid sepi.

58. Gatholoco alon ngucap, Ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak dhuwung, saiki ingsun pêjah, Kyai Kasan Bêsari asru sumaur, Iku lagi tatanira, wong mati cangkême criwis.
Gatholoco pelan menjawab, Tidak perlu repot membunuhku, dengan senjata tombak atau keris, saat inipun aku sudah mati, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) keras membentak, Dasar tak tahu diri, mati kok mulutnya ceriwis!

59. Awake wutuh lir rêca, Gatholoco alon dennya nauri, Yen patine kewan iku, nganti gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya awak-mami.
Dan badanmu masih tegak bagai arca, Gatholoco pelan menjawab, Hewan disebut mati, jika tubuhnya hancur lebur, tumbuhan disebut mati jika sudah kering, jika setan mati hilang tak diketahui jejaknya, tapi kematian manusia sesungguhnya.

60. Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku nêpsuku, mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya tundhaning lair.
Tidak bisa dilihat secara fisik juga tidak hilang (wujud) manusianya, ketahuilah sesungguhnya aku ini sudah mati, yang mati nafsuku, makanya aku mampu melihat kesalahan kalian, yang hidup adalah Budi (Buddhi:Kesadaran) dan menyisakan pikiran dan nalar yang jujur, terpisahnya Raga dan Nyawa, (itu bukan kematian) itu hanya proses menuju kelahiran kembali.

61. Iku ingkang aran Sadat, pisahira Kawula lawan Gusti, lunga pisah têgêsipun, dadi Roh Rasulullah, yen wis pisah Ragane lan Suksma iku, Rasa Pangrasa lan Cahya, panggonane ana ngêndi.
Itulah yang disebut Sahadat (Kesaksian) yang sesungguhnya (Dalam kondisi seperti ini, dimana kita telah mampu terpisah dari Badan Fana dan murni menjadi Badan Sejati, disaat seperti inilah kita akan mengetahui apa itu makna Sahadat yang Sejati), pisahnya Kawula (Hamba : Badan Maya/Fana yang berasal dari alam) dengan Gusti (Tuhan: Badan Sejati/Brahman yang berwujud Atma yang selama ini terjebak Maya), murni menjadi Roh Rasulullah (Roh Utusan Allah/Atma yang suci kembali), manakala telah berpisah Raga/Badan Fisik dan Suksma/Badan Halus, Rasa berikut Perasaan (maksudnya juga Suksma/Badan Halus) dan Cahaya (maksudnya Atma atau Badan Sejati), lantas kemanakah perginya semua itu?

62. Kyai Guru saurira, Bênêr ingsun luluh awor lan siti, Rasa lan Pangrasa iku, kalawan Cahya Gêsang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga, Sang Ijrail ingkang ngirid.
Kyai Guru (Hassan Bashori), Yang benar aku (Badan Fana) hancur menjadi tanah, sedangkan Rasa berikut Perasaan (Badan Halus) beserta Cahaya Hidup (Badan Sejati), dibawa oleh (Hyang) Suksma (Tuhan), semua naik ke Surga, Sang (Malaikat) Ijrail yang mengiringi.

63. Lamun Suksmane wong Islam, kang nêtêpi salat limang prakawis, sarta akeh pujinipun, rina wêngi tan owah, anêtêpi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen katrima ing Hyang Widdhi.
Jika Badan Halus orang Islam, yang menjalani shalat lima waktu, serta banyak beribadah, siang malam tiada goyah, memenuhi zakat shalat dan puasa, zakat fitrah menjelang hari raya, jika diterima oleh Hyang Widdhi.

64. Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jêng Nabi, kabeh oleh-olehingsun, kang wus kasêbut sarak, yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dhawuhe Jêng Rasulullah, pinanjingakên yumani.
Akan naik ke Surga, karena menuruti perintah (Kang)jêng Nabi, yaitu semua yang aku jalani ini yang disebut syari’at, tapi Badan Halus manusia kafir yang tidak menuruti, perintah (Kang)jêng Rasulullah, dimasukkan tempat siksaan (Neraka).

65. Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatholoco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.
Sebab telah melawan Panutan, manusia kafir itu menjadi musuh (Hyang) Widdhi, Gatholoco keras berkata, Sangat konyol jika Yang Maha Kuasa, memusuhi manusia kafir, kamu nyata tidak mempercayai, kepada Kekuasaan (Kasih) Hyang Widdhi.

66. Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika, sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya bêja cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.
Kamulah sesungguhnya yang menghujat Hyang (Widdhi)! Membagi-bagi manusia menjadi umat Nabi (dan yang bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang membuat? Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan kemuliaan dan celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci.

67. Upama Allah duweya, satru kapir murtad marang Hyang Widdhi, bêcik sadurunge wujud, tinitah aneng dunya, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mêngkono Allahira, iku ora duwe budi.
Jikalau Allah mempunyai, musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepada Hyang Widdhi, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang kafir) hidup didunia, sehingga Hyang Agung (tidak repot-repot) mempunyai musuh (yang membuat Dia marah-marah), jikalau memang demikian Allah-mu, tidak mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!

68. Dhêmên karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku, mêpêki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang agami.
Hanya membuat pekerjaan tak berguna, mengadu orang Islam dengan orang kafir, berbeda dengan Allah-ku, penuh kebijaksanaan, memberikan kebebasan bagi manusia, tiada yang disebut kafir dan Islam, manusia diberi kebebasan memeluk agama!

69. Têgêse aran agama, panggonane ngabêkti mring Hyang Widdhi, ing sasêbut-sêbutipun, waton têrus kewala, tanpa salin agamane langgêng têrus, sapa kang salin agama, anampik agama lami.
Yang dinamakan agama itu, sekedar wadah yang mengatur tata cara untuk menyembah Hyang Widdhi, apapun sebutan (nama agama maupun menyebut Tuhan)-nya, asal terus memantapkan diri dalam satu jalan, tiada bersalin agama dan terus mantap (pasti akan diterima), (ketahuilah) sesungguhnya siapa yang berpindah agama, menolak agama lama (yang sudah ditetapkan Hyang Widdhi bagi dia).

70. Iku kapir aranira, krana nampik papêsthene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur, nampik leluhurira, sasat nampik papêsthenira Hyang Agung, panyêbutmu siya-siya, anêbut namaning Widdhi.
Itulah manusia kafir, karena menolak kepastian Hyang Widdhi, dirimu itu kufur, menolak (agama) leluhur, jelas menolak kepastian Hyang Agung (yang telah menetapkan bahwa agama leluhur Jawa adalah agama yang pas bagi orang Jawa), doamu seolah sia-sia, saat kamu menyebut nama (Hyang) Widdhi (dengan bahasa asing)

71. Sira iku bisa kandha, lamun kapir Suksmane manjing gêni, Suksmane wong Islam iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, wêruh suwarga naraka, panggonane aneng ngêndi.
Dan lagi kamu bisa mengatakan, apabila manusia kafir Badan Halusnya masuk kedalam api (Neraka), (sedangkan) Badan Halus manusia Islam, semua naik Surga, apakah kamu sudah pernah mati, sehingga tahu Surga dan Neraka? Dimanakah tempatnya?

72. Kasan Bêsari angucap, kang kasêbut sajroning kitab mami, Gatholoco sru gumuyu, sira santri kêparat, ngandêl marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu tinggalan naluri.
(Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Itulah yang disebutkan dalam kitab! Gatholoco tertawa keras. Kamu santri bodoh, mempercayai begitu saja kepada kertas dan tulisan yang kamu sebut kitab, kitab yang kamu sadur begitu saja dari kitab milik orang seberang, bukan (kitab suci) yang sudah melekat semenjak dulu (dalam dirimu).

73. Buku têmbung cara Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayêktine kabisanmu, mung kitab sembarangan, sira gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah, bali ingkang duwe maning.
Kitab yang berbahasa Arab (saja yang kamu agungkan), tidak mempelajari kitab (suci) yang sesungguhnya (yaitu Suara Ruh/Nurani), sesungguhnya wawasanmu, kamu peroleh dari kitab sembarangan, (segala kesadaran dangkalmu hasil mempelajari kitab Arab) kamu bawa sebagai oleh-oleh saat kamu mati kelak, kamu haturkan (kesadaran semacam itu) kepada Gisti Allah, kepada yang mempunyai.

74. Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira aturêna, bali marang kang ndarbeni.
(Kesadaran) semacam itu mana mungkin diterima? Karena semua ini adalah milik-Nya, seluruh puji dan dzikir-mu, seluruh ucapanmu, itu semua milik Hyang Agung, tapi kamu malah bermaksud mengembalikan, kepada yang mempunyai (maksudnya pemahaman merasa terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan Sumber Semesta dan merasa bahwa manusia ini eksis sendiri, bukan wujud Tuhan, adalah pemahaman konyol menurut Gatholoco. Manusia itu nisbi, manusia itu tidak ada, semua ini adalah wujud Tuhan. Lantas jika ada yang meyakini, tubuh fisik ini milik kita yang dipinjamkan oleh Tuhan, dan nanti akan kita kembalikan kepada-Nya, pemahaman semacam itu masih kurang tepat menurut Gatholoco. Tidak ada pihak yang meminjamkan atau yang dipinjami. Yang ada hanyalah TUHAN. Yang meminjamkan dan yang dipinjami, hanyalah illusi. Illusi dari hasil mempelajari kitab-kitab seberang tersebut)

75. Apa ora nêmu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kêpriye olehmu matur, Kyai Guru saurnya, Sira iku maido kitabing Rasul, Gatholoco alon ngucap, Tan pisan maido mami.
Sangat berdosa dirimu, karena ini semua adalah wujud Hyang Widdhi, bagaimana kamu hendak menghaturkan (kembali), Kyai Guru menjawab, Kamu menghina kitab Rasul, Gatholoco pelan menjawab, Bukan sekali ini aku menghina.
76. Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landhatên kanyatahanmu, rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pêjah, anggawa sanguning brangti.
(Dengarkan) setelah dirimu membaca, segala yang tercantum dalam kertas bertuliskan tinta yang kamu sebut kitab suci itu, nyatakan dalam dirimu sendiri (jangan hanya meyakini secara buta), intisari dari sastra (ayat) yang sudah kamu pelajari. Dan lagi kamu tadi mengaku, kelak jika kamu meninggal, kamu membawa oleh-oleh yang sangat kamu cintai. (cinta dalam bahasa Jawa adalah BRANGTA/BRANGTI atau ASMARADANA. Menyiratkan pupuh selanjutnya adalah pupuh ASMARADANA)
0 komentar

RIWAYAT SINGKAT SYEH LEMAH ABANG_1

Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati (Daerah Cirebon sekarang). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi, Raja Pajajaran.

Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan Islam.

Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa kedamaian sangat terasa.

Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang ). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sangha.

Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang atau Sunan Kajenar.

Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ), Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan Kadipaten Tuban ), begitu juga Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.

Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki 'kecemerlangan' melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan, selain memang 'kesadaran' beliau yang benar-benar tinggi.

Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin. Dan Abdullah Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah Pakistan.


Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq, lama-lama terpengaruh gerakan militansi Islam yang mulai digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.

Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan latihan-latihan tempur. Fokus utama memperbaiki diri, kini berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai goncang.

Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.

Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan Kalijaga. Bersama Syeh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang kini berubah radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur'an dan Hadist secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid'ah. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat Islam yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid'ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah).

Untuk mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah. Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali, bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha adalah atas prakarsa Sunan Benang, disimbolkan dengan mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada kekosongan pimpinan ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah seorang ulama, dia seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir.) Dengan datangnya 'sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar', kekosongan pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi kekosongan adalah 'seekor cacing'. Cacing ini, rakyat jelata ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang. Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini, sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka )

Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong Krokot, diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” ( Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin, tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan dimasukkan ke Dewan Wali oleh Sunan Benang, sehingga kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga, tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing. Kurang lebih seperti itu.

Padahal, tingkat 'spiritualitas' seseorang tidak bisa diukur oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa. Karena mereka memang tengah terfokus pada duniawi. Pada Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.

Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit dan ingin mendirikan Kekhalifahan Islam di Jawa, walaupun lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti Jenar, menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan, keluar dari Dewan Wali Sangha.

Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda'im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda'im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.

Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta. Syarif Hidayatullah menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti Jenar, tertutupi sudah.

Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati.

Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus, begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini semakin meruncing.

Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan Ilmu Tassawwuf tingkat tinggi kepada murid-muridnya, yang sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari kesalahan Syeh Siti Jenar.

Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh (Bait-Bait) Tembang Jawa seperti dibawah ini :

Sinom

1. Pagurone Syeh Lemah Bang,
Wejangane tanpa rericik,
Lan wus atinggal sembahyang,
Rose kewala liniling,
Meleng tanpa aling-aling,
Wus dadya Paguron Agung,
Misuwur kadibyannya,
Denira talabul'ilmi,
Wus tan beda lan sagunging aulia.

Perguruan Syeh Lemah Bang,
Wejangannya tanpa menggunakan perlambang ( simbolisasi dan langsung ke inti sarinya ilmu ),
Sholat syari'at tidak dipentingkan,
Inti sarinya saja yang dihayati,
Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,
Sudah menjadi Perguruan Besar,
Terkenal kehebatannya,
Kedalaman Ilmu beliau,
Sudah tak ada beda dengan para Aulia.

2. Sangsaya kasusreng janma,
Akeh kang amanjing murid,
Ing praja praja myang desa,
Malah sakehing ulami,
Kayungyun ngayun sami,
Kasoran kang Wali Wolu,
Gunging Paguronira,
Pan anyuwungaken masjid,
Karya suda kang amrih agama mulya.

Semakin terkenal ditengah masyarakat,
Banyak yang datang menjadi murid,
Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan,
Bahkan banyak para ulama,
terpikat dan masuk menjadi pengikut,
Kalahlah Delapan Wali yang lain,
Karena kebesaran perguruannya,
Masjid para wali ditinggalkan,
Membuat surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama paling mulia.

3. Santri kathah keh kebawah,
Mring Lemah Bang manjing murid,
Ya ta Sang Syeh Siti Jenar,
Sangsaya gung kang andasih,
Dadya imam pribadi,
Mangku sa-reh bawahipun,
Paguroning Ilmu Khaq,
Kawentar prapteng nagari,
Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar.

Banyak para santri yang menjadi pengikut,
Menjadi murid Syeh Lemah Bang,
Adapun Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin banyak yang mencintai,
Beliau menjadi Imam tunggal,
Jadi panutan para murid,
Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Terkenal diseluruh wilayah negara,
Beliau mendapat sebutan,
Sang Pangeran Siti Jenar.

4. Satedhaking Majalengka,
Kalawan dharahing Pengging,
Keh prapta apuruhita,
Mangalap kawruh sejati,
Nenggih Ki Ageng Tingkir,
Kalawan Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang Ing Betah,
Lawan Ki Ageng Pengging,
Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.

Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk keturunan dari Pengging,
Banyak yang terpikat oleh beliau,
Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti Ki Ageng Tingkir,
Juga Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang dari daerah Butuh,
serta Ki Ageng Pengging,
Menjadi satu paham dengan beliau.

5. Ing lami-lami kawarta,
Mring Jeng Susuhunan Giri,
Gya utusan tinimbalan,
Duta wus anandhang weling,
Mangkat ulama' kalih,
Datan kawarna ing ngenu,
Wus prapta ing Lemah Bang,
Duta umarek mangarsa,
Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar.

Lama-lama terdengar juga,
Oleh Kangjeng Susuhunan Giri,
Beliau segera memanggil utusan,
Sang duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan,
Berangkatlah dua orang ulama,
Tidak diceritakan di perjalanan,
Sudah sampai di Lemah Bang,
Sang duta mendekat dihadapan,
Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.

6. Nandukken ing praptaning,
Dinuteng Jeng Sunan Giri,
Lamun mangkya tinimbalan,
Sarenga salampah mami,
Wit Jeng Sunan miyarsi,
Yen paduka dados guru,
Ambawa Imam Mulya,
Marma tuwan den timbali,
Terang sagung ing pra Wali sadaya.

Menyampaikan maksud kedatangannya,
Diutus Jeng Sunan Giri,
Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,
Berangkat bersama kami,
Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar,
Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru Agung,
Menjadi Imam Mulia,
Oleh karena itu tuan dipanggil,
Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para Wali semua.

7. Prelu musyawaratan,
Cundhuking masalah ilmi,
Sageda nunggil seserepan,
Sampun wonten kang sak serik,
Nadyan mawi rericik,
Apralambang pasang semu,
Sageda salingsingan,
Pangeran Siti Jenar angling,
Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah.

Berembug untuk menyatukan pemahaman,
Supaya tidak terjadi perpecahan,
Agar tercapai kesepahaman,
Jangan sampai timbul fitnah,
Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,
menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang,
Intisari-nya jangan sampai berbeda makna,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Aku dipanggil Sunan Giri Gajah,

( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton. Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para ulama-ulama yang lain untuk segera membentuk Kekhalifahan Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar Shashangka )


8. Apa tembunge maring wang,
Ature duta kekalih,
Inggih maksih Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Matura Sunan Giri,
SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN,
ING KENE ORA ANA,
AMUNG PANGERAN SEJATI,
Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa.

Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?,
Kedua duta menjawab,
Beliau memanggil Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Katakan kepada Sunan Giri,
SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,
DISINI TIDAK ADA,
YANG ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ),
Terkejut keheranan kedua duta.

9. Andikane Syeh Lemah Bang,
Wasana matus aris,
Kados pundi karsandika,
Teka makaten kang galih,
Wangsulan kang sayekti,
Pangeran ngandika arum,
Sira iku mung saderma,
Aja nganggo mamadoni,
INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA.

Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang,
Lantas berkata,
Bagaimana maksud anda ?
Sampai bisa berkata demikian?
Tolong berikan penjelasan kepada kami,
Pangeran Siti Jenar berkata lembut,
Kalian hanyalah utusan,
Jangan membantah,
INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA MULIA ).

10. Duta kalih lajeng mesat,
Lungane datanpa pamit,
Sapraptaning Giri Gajah,
Marek ing Jeng Sunan Giri,
Duta matur wot sari,
Dhuh pukulun Jeng Sinuhun,
Amba sampun dinuta,
Animbali Syeh Siti Brit,
Aturipun sengak datan kanthi nalar.

Kedua utusan lantas keluar,
Pergi tanpa berpamitan,
Sesampainya di Giri Gajah,
Mendekat kepada Jeng Sunan Giri,
Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,
Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,
Kami sudah tuan utus,
Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),
Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.
0 komentar

Kejawen Bukan Aliran Kebatinan

Agama pendatang selalu membuat opini, bahwa Kejawen itu adalah Aliran Kebatinan. Hal ini dilakukan oleh agama pendatang, agar para penganut Kejawen yang masih muda dan tidak tahu apa-apa merasa malu untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Seorang Kejawen (bahkan takut dikatakan tidak beragama). Sebab jika Kejawen itu benar-benar Ilmu Kebatinan, pernyataan diri sebagai Seorang Kejawen merupakan pernyataan yang setara dengan saya adalah dukun.

Dengan opini tersebut, agama pendatang berhasil membuat orang-orang Jawa yang dikenal sangat mempunyai sifat merendah tersebut enggan menyatakan dirinya sebagai Seorang Kejawen. Padahal pada kenyataanya, tidak ada semua yang membacakan mantra-mantra dengan bahasa Jawa. Kejawen adalah sebutan bagi penganut Agami Jawi, seperti orang Kristen disebut sebagai Kristiani atau Nasrani, sedang orang Islam disebut sebagai Muslim, dan lain sebagainya.

Seorang Kejawen adalah orang yang mempunyai niat dari dalam dirinya, untuk melakukan apa-apa yang tidak menyakiti pihak lain (orang lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb), karena dalam falsafah Agami Jawi adalah berbudi luhur, yang artinya memiliki pikiran dan prilaku yang luhur.

Kebanyakan agama yang ada, sadar atau tidak mereka selalu diajak kepada struktur dari pemahaman agama itu sendiri. Bagi sebagian agama, justru ada kursus-kursus atau sekolah (di luar sekolah formal) yang memberi pengajaran atau pendalaman. Tentunya tidak gratis. Bagi Seorang Kejawen, mereka hanya disarankan untuk memperdalam olah Roso (biasanya disebut puasa mutih yang dilakukan hari Senin dan Kamis).

Bagi beberapa agama menyarankan atau bahkan diharuskan jika mampu, untuk melakukan napak tilas secara fisik, yakni dengan diiming-imingi hadiah (penghapusan dosa, pahala yang besar, masuk surga, dll) bagi yang melakukan hal tersebut. Dengan logika ini (penghapusan dosa, pahala yang besar, masuk surga, dll), dapat dikatakan justru mendiskreditkan Tuhan Yang Maha Esa, yang seolah-olah memiliki pola berbisnis terhadap mahluk hidup.

Kasihan ya ....!!! yang nggak mampu, karena seolah Tuhan Yang Maha Esa membedakan orang kaya dan orang miskin. Semakin miskin seseorang di dunia, mereka pun tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk surga. Karena tidak memiliki biaya yang besar untuk napak tilas tersebut.

Bagi seorang Kejawen hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Karena seorang Kejawen yang telah benar-benar melakoni Olah Roso dengan benar, mereka pasti sudah dapat napak tilas secara nonragawi. Tidak seperti agama-agama lain yang harus melakukan napak tilas secara fisik.

Dalam Kejawen maka peribahasa “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”
adalah sangat cocok. Peribahasa di atas menggambarkan, bedanya Agami Jawi dengan agama-agama pendatang lainnya. (dalam hal ini salah satu yang dimaksud adalah napak tilas secara fisik yang sama saja dengan plesiran).

Agami Jawi memang tidak memiliki Kitab Suci. Mengapa? Karena dengan Manunggaling Kawulo Gusti, semua sudah terjawab. Jadi seorang Kejawen, tidak perlu belajar menghafal untuk mengerti semua itu. Dengan banyaknya ayat yang harus dihafalkan, menjadikan orang banyak alasan untuk dirinya tidak dalam kondisi eling lan waspodo (Selalu dalam keadaan sadar).

Di dalam Kejawen, maka Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum makhluk hidup. Hal ini dikarenakan, bahwa semua agama di dunia meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Esa sempurna. Begitu juga yang diyakini oleh seorang Kejawen. Jadi intinya, buat apa Tuhan Yang Maha Esa harus menghukum mahluk hidup?

Bagi kebanyakan orang, Kejawen hanya dianggap sebagai kebudayaan, sehingga pada akhirnya pun pengurusan Kejawen dimasukan kepada Departemen Kebudayaan. Hal ini memang merupakan pembusukan yang terstruktur terhadap Agami Jawi itu sendiri. Agama Jawi merupakan agama yang bertumpu pada Olah Roso, atau dengan kata lain, bertumpu pada pengolahan bathin.

Banyak pembodohan yang dilakukan oleh agama-agama pendatang, karena mereka sangat berkepentingan bagi perluasan agama mereka sendiri, yang pada akhirnya mereka pun memiliki kepentingan bagi perluasan secara ekonomi.

Perlu digaris bawahi bahwa istilah batin dan Kebatinan adalah dua hal yang sangat berbeda. Tetapi dengan kepintaran agama pendatang memelintir itu semua, membuat nasib Kejawen seperti sekarang ini. Olah batin itu memiliki ruang yang luas, ada yang untuk mengenali diri sendiri yakni Olah Roso, sementara ada juga yang untuk pengobatan seperti Reiki misalnya (pengobatan yang berasal dari Jepang).
0 komentar

Tutor Memindahkan Aplikasi Smartphone 100% ke Link2SD

Tutorial singkat berikut masih menjelaskan cara menggunakan dan men-setting Link2SD, karena sebelumnya penulis membahas materi yang sama dengan cara yang berbeda disini...
Disini penulis memberi tutor supaya memory internal bisa lega, bahkan hampir tidak terpakai karena semua aplikasi terinstal di SD CARD. Jadi semua aplikasi yang terinstal di internal bisa dipindahkan ke ext sdcard ... ( SECARA TOTAL ) Syaratnya :
1. Smartphone harus sudah di root
2. Sudah instal Root Explorer (Rootex)
3. Sudah instal Link2SD
4. Sudah partisi ext sd card (partisi ext2 atau ext3) bebas..tutor Disini...

>>>> Ini buat yang sudah install link2sd dan yang sudah dipartisi sdcardnya <<<<

Berikut langkah - langkahnya :
  • Masuk ke Link2SD  
  • Masuk ke setting dan pastikan tidak ada ceklis (INGAT SEMUANYA HILANGKAN CEKLISNYA) Seperti gambar di bawah ini
GAMBAR 1

  • Tutup Aplikasi LINK2SD
  • Kemudian masuk ke root explorer
  • Terus ke /data/sdext2 , dan pastikan belum ada folder satupun , jika ada , hapus saja
GAMBAR 2

  • Masih di Root Explore Kembali ke /data
  • Copy folder app, data, app-private dan Dalvik-Cache (Copynya Berurutan ya dari app sampai dalvik-cache) ke sdext2 jangan terbalik.
  • Jika sudah, masuk ke sdext2 dan Create Link pada ke 4 folder itu

Cara create Linknya :
  • Tahan folder tersebut , setelah muncul menu, tarik/scroll ke bawah klik Link To This Folder
  • Create Linknya berurutan dari app Terus Create Link data terus Create Link app-private terus Create Link dalvik-cache. Jangan terbalik - balik.
GAMBAR 3

  • Nah apabila ada Create Link sama tekan cancel 
  • Kalau sudah tekan back, tekan Create Link ( jadi Create Linknya di buat difolder data)
  • Jika ada problem Yes atau No , klik Yes saja 
  • Jika sudah, kembali ke /data/sdext2/ , Create Link juga sisa folder yang belum di Create Link ( Berurutan Ingat jangan terbalik)
  • Jika sudah , restart Smartphone 2X (Biar bekerja maksimal) , dan check internalnya sekarang berapa)
  • Tara Berikut gambar kalo anda berhasil
GAMBAR 4

GAMBAR 5

Selamat Mencoba Semoga berhasil...!!!
0 komentar
 
Support : Editing Website | Bms_75
Copyright © 2014. Bms_75
Template Editing and Published by Bms_75
Proudly powered by Blogger